Thursday 17 January 2013

Makalah Konteks Komunikasi Antar Budaya



KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Komunikasi antarbudaya adalah salah satu konteks terbaru dalam komunikasi. Munculnya komunikasi antarbudaya ini disebabkan oleh perkembangan lingkungan internasional. Banyak perusahaan Amerika menjalin bisnis dalam pasar dunia. Banyak di antaranya yang menjadi perusahaan multinasional (memiliki pusat laba di negara lain). Faktor sosial lain yang menyebabkan tumbuhnya komunikasi antarbudaya adalah usaha pengembangan Amerika dalam merayakan perbedaan budaya di dalam negara tersebut, beberapa festival digelar di Chicago dan Boston dan dihadiri oleh orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, mereka berusaha untuk menimbulkn kesadaran dan sensitivitas terhadap berbagai budaya.

Teori komunikasi antarbudaya dikembangkan oleh seorang antropolog, Edward Hall - yang mengemukakan teori dari kedekatan dan jarak sosial – adalah seorang antropolog budaya yang sangat berpengaruh di bidang komunikasi.  Dibuatnya pasukan perdamaian oleh John F. Kennedy pada awal 60an juga memimpin sebuah peningkatan minat dan kebutuhan untuk pengetahuan tentang bagaimana orang-orang dari berbagai budaya dapat berkomunikasi dengan efektif. Sejak awal pekerjaan Hall dan awal penelitian dari pasukan perdamaian, teori dari komunikasi antar budaya meluas menjadi teori bahasa, media massa, dan konflik antar budaya.
Gudykunst membagi studi komunikasi antar budaya menjadi sembilan area berbeda, beberapa di antaranya menjelaskan komunikasi antar budaya yang mengacu kepada komunikasi antar individu atau kelompok dari budaya yang berbeda atau subbudaya yang berbeda dari sistem budaya sosial  yang sama.  Penelitian komunikasi antarbudaya bisa saja menjelaskan bagaimana orang Amerika dan orang Jepang melakukan negosiasi bisnis. Komunikasi silang budaya membandingkan kebiasan komunikasi antarbudaya dari kombinasi orang yang berbeda, jadi taktik negosiasi orang Jepang dan Amerika akan dapat dibandingkan dan terlihat kontras dalam studi komunikasi silang budaya.
Komunikasi internasional mengacu pada studi dari komunikasi media massa di dalam budaya yang berbeda. Misalnya, penelitian komunikasi internasional bisa saja menjelaskan peran sosial dari televisi di India. Teori-teori perbandingan komunikasi massa membandingkan sistem media dari budaya yang berbeda, misalnya India dengan Inggris. Komunikasi dan hubungan internasional adalah sebuah area dari bidang  yang melibatkan studi dari komunikasi antarabangsa dengan pemimpin politik mereka. Hubungan antara komunikasi dengan perubahan pilitik sekarang tidak hanya dipelajai oleh ilmuan politik tetapi oleh sarjana komunikasi.
Perkembangan komunikasi merentangkan perbatasan antara komunikasi massa dan komunikasi interpersonal. Ini adalah komunikasi dikaitkan dengan perubahan sosial, seringkali dalam perubahan negara-negara. Dua jenis  perubahan, internal dan eksternal, mengarah pada perkembangan komunikasi (Fagen, 1966) dalam model eksternal, perubahan sosioekonomi merubah media, gaya hidup, dan kesempatan bagi anggota dari sebuah masyarakat. Kemudian, orang mulai melihat diri mereka dan tempat mereka di dunia ini secara berbeda. Akhirnya perbedaan pandangan ini menngarah pada sikap yang mempengaruhi sistem politik dari masyarakat. Model internal dimulai dengan pemilihan strategi politik yang merubah pola komunikasi. Selanjutnya pola komunikasi mengarah pada persepsi diri dan pandangan dunia, yang akhirnya mengarah pada perubahan dalam sistem politik, meskipun tidak memerlukan perubahan yang direncakan oleh pihak yang mengatur proses pergerakannya. Perkembangan komunikasi mengenali bahwa komunikasi dapat digunakan untuk memfasilitasi perubahan sosial.

Konsep Kunci dalam Komunikasi Antar Budaya
Lambang Verbal
Komunikasi antarbudaya, sebuah studi dari komunikasi antara individu dan kelompok dengan budaya yang berbeda, melibatkan beberapa area penting dari eksplorasi. Sebagai anggota sebuah budaya tertentu, seseorang mempelajari pola tertentu dari memahami dunia melalui sistem lambang seperti bahasa dan perilaku nonverbal. Sementara seluruh anggota dari sebuah budaya dapat berbicara bahasa yang sama, anggota dari budaya yang tidak dominan dapat mengembangkan lambang mereka sendiri. Lambang-lambang ini mempersatukan mereka terhadap budaya dominan dan memperkuat identitas mereka sebagai anggota dari subbudaya tersebut. Saat budaya dominan mengadopsi lambang-lambang tersebut, mereka tidak lagi melayani maksud awal, jadi mereka mengubahnya. Sebagai contoh dari fenomena ini dapat dilihat dalam perubahan seorang remaja gaul saat mereka diadopsi oleh orang dewasa.
Hipotesis Whorfrian
Yang terpenting dari bahasa dalam mempengaruhi sebuah budaya adalah poin penting dari teori relativitas linguistik dari Edward Sapir (1958, 1964) dan muridnya Benjamin Lee Whoff (1956). Hipotesis Whorfian menunjukkan bahwa bahasa membentuk kebudayaan dan pola pikir individu. Sebagai contoh, di Inggris kita dapat mengatakan “brother” atau “sister” ketika berbicara dengan saudara kandung. Kita tidak perlu menspesifikasikan umur kecuali kalau kita ingin membedakan antara dua saudara perempuan atau untuk menekankan umur hubungan, seperti “older sister”. Akan tetapi, di Mandarin, Cina, tidak ada istilah umum untuk “brother,” “sister,” “uncle” atau “aunt.” Mungkin disebabkan oleh yang lebih penting dari hubungan keluarga tertentu dalam budaya cina.  Satu-satunya kata yang belaku untuk kerabat yang menentukan hubungan yang tepat seperti “big (kakak tertua) /older sister”, “small (lahir setelah kakak pertama tetapi masih lebih tua dari yang mengatakan) older sister,” “younger brother” dan “uncle on my mother’s side.”
Hipotesis Worfian mengindikasikan bahwa bahasa mempengaruhi cara komunikator melihat dunia. Karena orang Cina harus membuat perbedaan hubungan mental untuk berbicara bahasa Mandarin, mereka cenderung lebih peka terhadap perbedaan-perbedaan dalam hubungan keluarga tertentu daripada komunikator yang berbehasa Inggris.
Namun, karena orang Inggris memiliki banyak kata untuk warna daripada Cina, Cina jadi lebih cenderung melihat nuansa warna dari komunikator Inggris.sebagai contoh, pikirkan seluruh kata yang merupakan sinonim dari merah atau merupakan jenis-jenis dari merah: pink, pale pink, salmon pink, dan lain-lain. Mandarin hanya memiliki satu kata untuk merah, dengan tambahan sebutan untuk nuansa terang atau gelap.
Lambang Nonverbal
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk memulai interaksi nonverbal, memperjelas hubungan, percakapan langsung, ekspresi untuk menunjukan emosi, mengakhiri percakapan secara substansial dari budaya ke budaya. Contoh di bawah ini akan menjelaskan secara singkat beberapa area penting dari perbedaan komunikasi nonverbal yang bervariasi dengan budaya yang berbeda.
Ekman dan Friesen (1969) mengatakan lima tipe gerakan tubuh adalah emblem, ilustrator, mempengaruhi tampilan, adaptor, dan regulaor. Emblem adalah gerakan yang memiliki tujuan atau arti yang sama dengan kata, dan dengan mudah terjadi kesalahpahaman (Ekman & Friesen, 1969). Sebagai contoh, saat orang Amerika ingin memanggil teman mereka, mereka melambaikan tangan (membuka dan menutup telapak tangannya). Sebagai tambahan orang Amerika selalu menggenggam tangan mereka diantara bahu dan pinggang ketika teman-teman memanggil, sementara orang Cina memegang tangan mereka dengan lurus sehingga tangan mereka berada dibawah pinggang.
Ilustrator – isyarat yang menyertai kata-kata untuk penekanan – juga bervariasi dari busaya ke budaya. Jakobson (1972) mendiskusikan kesulitan tentara Rusia dan Bulgaria selama perang di Turkey pada 1877-78 dalam menyampaikan gerakan yang menandakan “iya”. Saat ilustrator digunakan sebagai emblem untuk menggantikan kata-kata, tentara Bulgaria tidak akan pernah yakin apakah saat tentara Rusia menggelengkan kepala berarti “iya” atau “tidak.”
Perubah penampilan – gerakan tubuh yang mengekspresikan emosi - mungkin lebih mirip antara budaya dari jenis-jenis gerakan (Condon & Yosef, 1975), tetapi bahkan perubahan penampilan bisa mengindikasikan arti yang berbeda. Tersenyum dapat mengindikasikan bahwa orang Cina sedang mencoba menutupi malu. Morsbach (1982) mencatat bahwa orang Jepang juga menggunakan senyum dan tertawa untuk menutupi kemarahan, kesedihan, atau kekecewaan.
Kategori lain dari perilaku nonverbal yang juga sering dikategorikan adalah kontak mata. Di Amerika, orang yang menghindari kontak mata bisa diperkirakan malu atau bahkan menghindar dan tidak dapat dipercaya. Orang Jepang, mengajarkan anak-anak mereka untuk melihat atasan tidak pada mata karena memandang orang Jepang langsung di mata kemungkinan menghasilkan efek membuat mereka sangat tegang, karena kebudayaan tabu telah dilanggar (Morsbach, 1982).
Elemen nonverbal dari bahasa termasuk nada, stres, dan kualitas suara yang menyediakan sumber tambahan dari perbedaan antar budaya. Sebuah bahasa adalah salah satu yang bergantung pada kombinasi nada, stres, dan pola suara untuk mengindikasikan antar suara. Sebagai contoh, di Mandarin Cina, mai dengan nada tinggi berarti “membeli” sedangkan mai dengan nada rendah berarti “menjual.” Bahasa nada seperti Mandarin, Taiwan, dan Kanton berbicara dengan variasi vokal dibandingkan dengan bukan bahasa nada seperti Inggris.
Aturan dan Peranan
Disamping  lambang lisan dan tak lisan, kelompok anggota mempelajari  kelakuan  yang dianggap tugas dan peraturan  untuk menggunakan simbol-simbol tersebut. Tugas seorang isteri atau suami di Amerika pastilah sekarang sangat-sangat berbeda sekarang jika dibandingkan dengan tiga puluh tahun yang lalu ketika sebagian besar  wanita mengasuh anak di rumah dan sebagian besar pria menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga dalam sisi ekonomi. Budaya yang berbeda tentang bagaimana para anggota diharapkan dapat memnuhi perannya untuk mencapai  harapan yang diinginkan.Beberapa kebudayaan dan tugas memperbolehkan kelonggaran dari pada yang lainnya. Walaupun peran isteri telah berubah di Amerika Serikat, peran ibu harus tetap sama dengan tiga puluh tahun yang lalu, menciptakan fenomena "Superwoman" atau ”Supermom," wanita  berusaha untuk memenuhi kedua tersebut yaitu peran tradisional ibu dan peran perempuan baru dalam bisnis maupun eksekutif.  Ketik peran berganti atau tidak jelas, hal ini menimblukan atau menciptakan stres bagi orang yang mencoba mengadopsi peran ini.
            Di dalam situasi komunikasi antar budaya, pribadi dari kebudayaan lain mungkin akan berpikiran jelek karena mereka tidak tahu perilaku yang ada dan berbeda dengan perilaku mereka.
Kebudayaan Konteks Rendah dan Tinggi
Peran dan peraturan untuk perilaku sosial sudah dapat dilihat di beberapa budaya dibandingkan dengan yang lain. Edward Hall (1966) membuat kontribusi yang sangat penting untuk komunikasi antar budaya ketika ia menghargai budaya konteks rendah dan tinggi sebagai dasar dari pola komunikasi mereka. Di dalam komunikasi konteks tinggi, kebanyakn informasi disampaikan melalui pesan yang dikodekan langsung fisik atau mental dari peran, peraturan, dan nilai. Di dalam komunikasi konteks rendah, kebanyakan informasi disampaikan melalui pesan secara eksplisit atau secara verbal. Kedua hal tersebut merupakan cara penyamapain pesan dari kebudayaan konteks rendah dan tinggi di semua budaya, Hall mempercayai salah satu dari itu untuk mendominasi. Contohnya, budaya Amerika adalah budaya konteks rendah: orang Amerika mengungkapkan konflik atau pendapat secra terbuka. Bangsa oriental misalnya Cina dan Jepang cenderung memiliki budaya konteks tinggi, di mana banyak interpretasi tergantung pada intuisi atau akal sehat, pemahaman tentang apa yang dimaksud, bukan pada kata-kata tertentu yang diucapkan (Ting Toomey, 1984). Di kebudayaan Cina dan Jepang, ketika ada yang tidak setuju dengan sebuah keputusan, maka akan diam. Tidak sopan juga mengutarakan ketidaksetujuan dengan terbuka. Dengan demikian di Cina diam merupakan ungkapan dari ketidaksetujuan terhadap sesuatu, di Amerika, diam berarti setuju. Penafsiran seperti ini pada dasarnya berbeda untuk perilaku yang sama (diam) menambahkan komplikasi ke proses negosiasi antarbudaya (Womack. 1983)
Perbedaan-perbedaan Nilai
Perbedaan sumber nilai dari tingkat lesulitan dan ambiguitas dalam komunikasi antar budaya. Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) mengidentifikasi lima masalah yang berbeda, di mana semua nilai-nilai masyarakat berkembang dan terpengaruh interaksi sehari-hari. (1) Pertama adalah masalah pembagian antara yang baik dan buruk di dalam kehidupan. Apakah manusia lebih banyak bersikap baik, buruk, atau percampuran dari keduanya. (2) Masalah kedua adalah hubungan manusia dengan alam. Apakah manusia hidup berdampingan dengan alam, bersinggungan dengan alam, atau hidup secara harmonis di anatara keduanya. (3) Waktu adalah hal penting yang di dalam sikap nonverbal, sebagaian budaya menruh waktu di tempat yang cukup tinggi di dalam tradisi sementara yang lain mengasosiasikan perubahan dan masa depan dengan kemajuan . Bisakah yang lain hidup di masa sekarang, memberikan sedikit perhatian untuk yang sudah lalu dan untuk masa depan. (4) Masalah yang keempat adalah menjadi,melakukan, dan cocok. Para penganut budaya yang bernilai  “menjadi”  percaya spontanitas dari individu adalah aktifitas yang paling penting. Mereka yang menganut  nilai “melakukan” menekankan aktifitas di luar individu. Komunitas Amerika  adalah contoh dari budaya  “melakukan”. Hal pertama yang akan Anda tanyakan kepada sesorang yang baru sekali Anda temui dalam cocktail party adalah “Apa kabarmu?” Itu adalah tipe dari nilai budaya “menjadi cocok”, tipe budaya ini menekankan kepada siapa atau perubahan atau pertumbuhan seseorang, bukan aktivitas yang dilakukan orang yang bersangkutan.    (5) Pertanyaan terakhir terkait dengan hubungan antara individu kepada masyarakat. Nilai-nilai budaya individualistis mengandung nilai otonomi individu. Budaya yang menekankan pada silsilah keluarga dan nenek moyang atau kelompok yang ajeg dari waktu ke waktu, mereka mengatakan nilai keturunan atau silsilah.  Nilai-nilai keturunan budaya juga menghargai lebih dari individu, tetapi budaya berfokus pada kelompok-kelompok , seperti ras atau etnis atau kelompok agama.
Etnosentrisme
Stereotipe. Karena orang dari kebudayaan khusus membagi kode etik nilai dan verbal dan nonverbal . mereka memiliki kecenderungan untuk menjadi etnosentris untuk menilai kelompok lain berdasarkan kategori dan nilai yang mereka anut daripada terbuka terhadap kebudayaan yang berbeda. Stereotipe adalah “ percaya pada kelompok  individual atau objek” ( Ruhy. 1976, p. 27 ) didasari oleh opini yang dikeluarkan daripada informasi tentang sesuatu yang lebih spesifik. Stereotipe mengizinkan kita untuk mengatur informasi yang tidak jelas lebih cepat: dengan menggunakan stereotipe kita dapat merespon kepercayaan/profesor tanpa menjadi familiar terhadap setiap kepercayaan/profesor  tersebut. Dengan menggunakan stereotipe kita dapat bertindak dengan dasar informasi yang sedikit: dalam hal ini kehendak orang tersebut.. Setelah kita mengetahui setiap profesor dan bagaimana peraturan yang dia buat untuk berinteraksi dengan muridnya dan untuk menyetujui tugas-tugas. Kita dapat membedakan tingkah laku kita. Bahaya dari stereotipe adalah kita tidak akan pernah mendekati mereka untuk mengetahui seseorang sebagai seorang induvidu. Dengan menyikapi anggota kelompok mengikui ide yang kita percaya adalah”tipe dari kelompok tersebut. Kita tidak akan pernah mengetahui bagaimana seseorang berbeda dengan anggota lainnya atau menyadari bahwa stereotipe kita tidak tepat.
Prasangka. Jika kita menyangka. Kita menyangka setiap orang dengan stereotipe sebelum mengetahui orang tersebut. Prasangka menghasilkan  penyingkapan selektif, persepsi, dan persepsi yang peka ( Ruhly, 1976 ). Penyingkapan secara selektif maksudnya adalah kita menyingkap diri kita sendiri kepada pesan yang kita percaya. Biasanya kita menghindari pesan yang kita sangka dan percaya bahwa “ tidak pantas untuk didengar” jika Anda mempunyai perasaan yang kuat kepada salah satu kandidat politikus Anda tidak akan mendengarkan politikus lain ( kecuali Anda akan berpidato untuk menjatuhkannya ), fenomena yang sama juga terjadi pada pemisah khusus antara komunikasi antar budaya. Karena kita biasanya mempunyai perbedaan kebudayaan dengan mereka yang berasal dari kebudayaan lain atau subkebudayaan dari orang yang berasal dari kelompok sendiri. Kita biasanya akan menghindari memamerkan diri sendiri untuk pesan yang baru dan berbeda. Dengan memutuskan diri kita dari informasi yang baru kita memperkuat prasangka dan menghindari bahwa stereotipe merupakan hal yang salah.
Perceptual Barriers. Perspektif yang selektif juga mempengerahui komunikasi dengan orang lain dari kebudayaan yang berbeda. Karena kebudayaan sendiri memberikan kita kategori mental dan karena stereotipe kita dan prasangka dapat “mengeras”  kategori tersebut dan membuat mereka kebal kepada informasi yang baru, kita menerima informasi baru dalam keadaan cara pandang kita yang kuno dalam melihat dunia. Kita dapat mengabaikan aspek positif dari pertemuan perbedaan kebudayaan dan hanya memperhatikan hanya kepada informasi yang sesuai denga stereotipe/ prasangka kita. Kita biasanya suka menggunakan pertahanan dari perspektif yang selektif jika kita dijelaskan terhadap pesan yang berbeda dengan keinginan kita tidak ingin mendengarkannya.
Kepekaan Persepsi merupakan perspeksi yang menghasilan saat seseorang menjelaskan pesan yang disampaikan cukup sering dengan seting sebagai musuh. Pesan yang pertama terdengar mengesalkan akan membuat kita semakin marah saat diucapkan berkali-kali. Itulah,yang menyebabkan julukan untuk suatu ras terkadang menyakitkan karena kepekaan perspeksi. Rich ( 1974 ) mengindifikasi lima tipe kategori dari pernyataan negatif yang merintangi komunikasi budaya yang berbeda antara kelompok ras di US. Dia menemukan anggota dari kelompok Chicano, Africa Amerika, dan Native Amerika biasanya tersinggung oleh pernyataan ini. (1) pernyataan stereotipe tentang kelompok ras. (2) pernyataan tentang refleksi dari kurangnya simpati kepada kelompk minoritas yang mengkomplain tentang “Pembuktian” (3)pernyataan yang merendahkan.(4) pernyataan tentang kondisi seperti “squaw” yang merupakan wanita yangberwarna, dan(5) pernyataan yang mereflesikan hal-hal yang dilakukan anggota dari kelompok majoritas untuk melewati pemisah etnik, seperti “ Pamanku karena pernikahan menjadi orang Chicano”.
Pelatihan Antar Budaya
Banyak teori yang mempelajari komunikasi antar budaya untuk membantu seseorang melewati penghalang agar komunikasinya menjadi efektif. Dua keahlian atau perilaku adalah hal yang penting di dalam komunikasi antar budaya: empati dan kemampuan untuk keluar dari kebudayaan sendiri untuk menyadari perbedaan di dalam situasi yang membingungkan (Ruhl, 1976). Empati adalah kemampuan untuk mengetahui dan merasakan perasaan orang lain. Tipe pertama, pelatihan kebudayaan yang spesifik, biasanya diberikan kepada seseorang yang akan tinggal atau bekerja di dalam kebudayaan yang berbeda dari diri mereka. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang aturan umum, peranan, nilai, dan pola interpretatif kepada orang-orang yang suka berpindah-pindah daerah.
            Di lain pihak, pelatihan budaya secara umum meliputi kepekaan individu untuk mengetahui aturan dan norma kebudayaan mereka sendiri dan mengidentifikasikan kategori umum dari perbedaan asimilasi budaya seperti perbedaan dalam kode-kode verbal ataupun nonverbal. Orang menjadi lebih baik di dalam komunikasi antar budaya ketika mereka lebih fleksibel dalam menduga motif atau arti dari perilaku orang lain. Mereka lebih peduli dengan kemungkinan yang berbeda interpretasi komunikasi. 

BEBERAPA TEORI REPRENSENTATIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Walaupun teori komunikasi yang mempelajari  komunikasi antarbudaya masih terbilang baru, tapi teori dari komunikasi antarbudaya sudah berkembang dengan pesat. Ini sangat menarik untuk membuat tanda di beberapa teori pada bab-bab sebelumnya yang telah diadaptasi untuk membantu masalah atau untuk menjelaskan sesuatu di dalam komunikasi antarbudaya. Untuk mengingatkan di dalam bab ini akan dijelaskan lagi mengenai teori yang telah dipilih untuk mengilustrasikan perbedaan di dalam teori yang membangun antara hukum, aksi dari manusia, and sistem perspektif.


Hukum yang Mendekati dan Berlaku Untuk Komunikasi Antar Budaya
Teori Berger dan Calabrese (1975) Teori Pengurangan Ketidakpastian, mengasumsikan interaksi, tujuan yang penting dari komunikasi adalah untuk mengurangi ketidakpastian tentang teman bicara.  Perilaku di dalam komunikasi pada permulaan adalah mengenai hubungan interpersonal adalah hal utama untuk menemukan informasi tentang yang orang lain dan memberikan informasi yang relefan tentang diri sendiri dengan tujuan untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengkontrol hubungan.   Teori ini kelihantannya cocok untuk khusus menjelaskan tentang pertemuan pertama di dalam komunikasi antar budaya.
            Gudykunst dan Nishida (1984) memberikan alasan tentang teori ini, teori ini sangatlah umum untuk menjelaskan komunikasi antara budaya dan antara orang yang berbeda kebudayan. Beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya dan teori berasal dari teori ini yang mendukung secara penuh atau sebagian dari penelitian. Dari semuanya, penelitian  menemukan perbedaan budaya yang menggunakan strategi pengurangan ketidakpastian.
            Beberapa teori dari teori ini merupakan ketidakpastian dan tori ini sangat baik digunakan untuk interaksi awal, perubahan perilaku seseorang saat memulai suatu hbungan (Gudykunst, 1985)
Gudykunst, Yang, dan Nishida (1985) mengembangkan penyelidikan sebelumnya dalam dua cara: (1) Mereka mempelajari anggota dari tiga budaya (Amerika Serikat, Jepang, dan Korea) dan (2) Membandingkan  perilaku komunikasi kepada kenalan, teman, dan teman berkencan. Para penulis merasa ini penting karena Teori Pengurangan Ketidakpastian ini dikembangkan dari penelitian didasarkan pada peserta kulit putih hanya dalam satu negara, Amerika Serikat. Mereka ingin tahu apakah akan berlaku untuk teori budaya yang berbeda dan untuk lebih banyak jenis hubungan intim dari percakapan dengan orang asing, sehingga mereka menguji model asing ini, dalam sebuah percobaan yang melibatkan siswa dari tiga negara. Dengan menggunakan kuesioner, peserta menggambarkan komunikasi mereka dengan baik seorang kenalan dan seorang teman yang berjenis kelamin sama dan dengan pasangan kencan dari lawan jenis. Analisis statistik menunjukkan bahwa Teori Pengurangan Ketidakpastian itu dikonfirmasi oleh data untuk kenalan, teman, dan hubungan pacar dalam tiga budaya. Dengan demikian, percobaan menyediakan dukungan untuk memperluas model luar interaksi awal untuk lebih banyak jenis hubungan intim.
Memperluas teori-teori dalam cara ini adalah salah satu metode penting bangunan atas penelitian sebelumnya. Namun, Gudykunst dan rekan-rekannya mencatat bahwa Teori Pengurangan Ketidakpastian tidak memungkinkan peneliti untuk memeriksa perubahan-perubahan dalam hubungan komunikasi sebagai berkembang dari waktu ke waktu, juga tidak mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas, misalnya bagaimana relasional mitra yang terlibat dalam setiap komunikasi lain jaringan. Para penulis merasa konteks sosial yang seharusnya sangat penting dalam konteks budaya tinggi (Hall, 1966) seperti Korea dan Jepang, di mana konteks ini sangat penting dalam memperkirakan perilaku orang lain. Individu-individu yang berbagi teman dan kenalan (yakni, yang sangat terlibat dalam satu sama lain dan jaringan komunikasi sosial) dapat lebih mampu meramalkan perilaku satu sama lain berdasarkan informasi seperti norma-norma dan nilai-nilai yang diperoleh dari jaringan teman daripada pengetahuan langsung tentang individu secara spesifik. Percobaan ini mengukuhkan Teori Pengurangan Ketidakpastian, diperluas ke budaya baru dan relasional konteks dan saran modifikasi, terutama untuk konteks budaya tinggi.
Gudykunst, Nishida, Koike, dan Shiino (1986) memutuskan untuk menyelidiki secara lebih rinci peran bahasa dalam pengurangan ketidakpastian. Menggunakan peserta dari universitas Jepang, para peneliti menyelidiki apakah bahasa yang percakapan terjadi dipengaruhi metode untuk mengurangi ketidakpastian. Seperti Gudykunst dan Nishida (1984), para peneliti meminta peserta untuk membayangkan bahwa mereka sedang diperkenalkan kepada mahasiswa baru di universitas mereka (again. The “bogus stranger” technique). Mahasiswa baru itu baik Jepang atau Amerika Utara dan pertemuan itu akan berlangsung baik di Jepang atau bahasa Inggris. Seperti dalam percobaan oleh Gudykunst, Yang, dan Nishida (1985), sedangkan hasilnya cenderung untuk mengkonfirmasi teori, mereka juga menunjukkan bahwa Teori Pengurangan Ketidakpastian mungkin harus diubah untuk konteks budaya tinggi di mana orang-orang asing mengetahui latar belakang dan berbagi jaringan komunikasi serta secara langsung berkomunikasi dengan orang asing, mungkin penting tentang cara tambahan untuk mengurangi ketidakpastian.
Berdasarkan studi sebelumnya, Gudykunst, Nishida, Koike, dan Shiino (1986) menyarankan lima hipotesis baru mengenai pengurangan ketidakpastian dalam pertemuan antara orang-orang asing dari budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. (1) ketidakpastian berbeda dalam tinggi dan rendah konteks budaya. Ketidakpastian pengurangan dalam konteks budaya tinggi melibatkan orang-orang asing memprediksi apakah akan mengikuti norma-norma kelompok atau budaya. Dalam konteks budaya rendah, pengurangan ketidakpastian memprediksi melibatkan perilaku individu. (2) Anggota konteks budaya tinggi meramalkan berfokus pada kepatuhan terhadap norma-norma ketika berbicara bahasa asli mereka: ketika berbicara dalam bahasa Inggris, mereka mencoba untuk memprediksi perilaku individu, seperti konteks rendah pembicara asli bahasa Inggris. (3) Mengetahui latar belakang seseorang atau mempunyai teman-teman dapat mengurangi ketidakpastian bagi anggota atau konteks budaya tinggi. Oleh karena itu, tidak memiliki kontak dengan jaringan komunikasi orang asing sebelum interaksi awal meningkatkan ketidakpastian bagi budaya konteks tinggi, tetapi tidak untuk budaya konteks rendah di mana norma-norma apalagi memberikan informasi. Alasan yang sama digunakan untuk menjelaskan hubungan dicatat dalam dua hipotesis yang mengikuti. (4) tidak mampu berempati dengan orang asing akan meningkatkan ketidakpastian dalam konteks budaya tinggi, tapi tidak dalam konteks budaya rendah. (5) Kurangnya pengetahuan tentang latar belakang orang asing akan meningkatkan ketidakpastian dalam konteks budaya tinggi, tapi tidak dalam konteks budaya rendah.
Gudykunst, Chua, dan Gray (1987) menyelidiki lebih lanjut efek dari perbedaan budaya pada Teori Pengurangan Ketidakpastian dengan mempelajari orang-orang dari berbagai latar belakang budaya. Salah satu aspek penting adalah tingkat ketidaksamaan antara siswa latar belakang budaya, dan budaya dari negara-negara Amerika, dimana mereka tinggal dan belajar. Responden menyelesaikan kuesioner tentang komunikasi mereka dengan salah seorang teman atau kenalan dari Amerika Serikat. Semua kenalan atau teman-teman itu berjenis kelamin sama sebagai mahasiswa. Hasilnya menunjukkan bahwa ketidakmiripan budaya memiliki kurang berpengaruh pada hubungan komunikasi sebagaimana dikembangkan. Temuan ini dikonfirmasi oleh penelitian sebelumnya Gudykunst, Nishida, dan Chua (1986), yang disajikan di atas.
Gudykunst dan Hammer (1987) menyusun pengetahuan yang didapat dari penelitian terhadap pengurangan ketidakpastian dalam situasi antar untuk membentuk teori antar mereka beradaptasi. Mereka reformulasi dari teori ide menambah kecemasan dengan konsep pengurangan ketidakpastian untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana orang-orang menyesuaikan diri dengan budaya yang berbeda. Teori ini terdiri dari 24 aksioma dan 50 teorema yang hanya dirangkum di sini. Misalkan seorang asing memasuki budaya asing tuan rumah kepadanya.Orang asing akan merasa tidak aman (pengalaman kecemasan) dan tidak yakin tentang cara berperilaku dalam pengaturan baru (pengalaman ketidakpastian). Orang asing yang memiliki identifikasi lebih kuat dengan budaya asli mereka sendiri dan yang mengharapkan untuk tinggal lebih permanen dalam kebudayaan setempat akan mengalami lebih banyak kecemasan dari mereka yang lebih lemah identifikasi budaya atau mereka yang merencanakan kunjungan sementara. Dalam keadaan apa yang akan orang asing itu jatuh dalam kecemasan dan ketidakpastian? Tindakan atau peristiwa apa yang mungkin membuat dia bahkan lebih cemas dan tidak pasti?
Menurut teori dan penelitian sebelumnya, beberapa kondisi yang akan membuat orang asing merasa lebih nyaman dan percaya diri. Jika orang-orang asing 'budaya asli serupa dengan kebudayaan setempat, orang-orang asing akan membuat prediksi yang lebih akurat dan mengurangi kecemasan lebih daripada jika budaya sangat berbeda. Orang asing juga akan merasa lebih nyaman jika budaya asli toleran terhadap berbagai perilaku (memiliki kecenderungan pluralis). Orang-orang asing akan dapat menjelaskan dan memprediksi secara lebih akurat orang dengan budaya asli 'perilaku ketika mereka: belajar tentang kebudayaan setempat, bentuk lebih akurat dan stereotip positif, menggunakan strategi pengurangan ketidakpastian yang tepat, lebih baik kontak dengan orang-orang dari kebudayaan setempat, yang tertarik pada dan bentuk hubungan intim dengan tuan rumah, tanpa kata-kata mengungkapkan keinginan mereka untuk afiliasi, meningkatkan jumlah jaringan komunikasi bersama dengan tuan rumah, dan menjadi kompeten dalam bahasa tuan rumah. Jika orang-orang asing terus sikap prasangka atau etnosentrisme terhadap kebudayaan setempat, atau mendeteksi sikap seperti di tuan rumah, mereka akan mengalami lebih banyak kecemasan dan ketidakpastian.
Gudykunts dan Hammer (1987) telah mengidentifikasi empat pola adaptasi antar budaya berdasarkan aksioma dan teorema. Orang asing dengan kecemasan yang tinggi dan ketidakpastian yang tinggi mungkin tidak disesuaikan dengan budaya tuan rumah, sementara mereka yang rendah dan rendah kecemasan ketidakpastian telah beradaptasi sepenuhnya. Orang asing yang menjaga diri mereka sendiri dan memiliki sedikit interaksi dengan anggota kebudayaan setempat memperlihatkan pola kecemasan rendah tetapi ketidakpastian tinggi.Mereka nyaman karena mereka bergaul dengan orang lain tentang budaya asli mereka, tetapi mereka memiliki kesulitan menjelaskan dan memperkirakan perilaku tuan rumah. Orang asing yang memiliki kecemasan tinggi tetapi rendah ketidakpastian dapat memprediksi dengan baik tapi masih tidak nyaman ─ mungkin karena mereka mengerti tapi tidak menyukai kebudayaan setempat. Gudykunst dan Hammer percaya bahwa beberapa pola-pola adaptasi antar memperkuat teori mereka dibandingkan dengan teori-teori yang hanya menyarankan sebuah kontinum mulai dari rendah ke tinggi tingkat adaptasi.
Program penelitian dan rekan-rekannya Gudykunst menerapkan Teori Pengurangan Ketidakpastian untuk antarkomunikasi menawarkan contoh yang sangat baik dari bangunan teori. Pertama, studi yang dijelaskan di atas menggambarkan bagaimana para sarjana dalam satu konteks mungkin meminjam atau mengadaptasi teori yang menjanjikan untuk mempelajari konteks komunikasi yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh tim ini umumnya dikonfirmasi Teori Pengurangan Ketidakpastian tetapi juga menyarankan beberapa perubahan untuk budaya konteks tinggi dan hubungan yang lebih intim. Dengan demikian, Gudykunst dan rekan-rekannya telah memperluas Teori Pengurangan Ketidakpastian tidak hanya di luar konteks aslinya, tetapi juga di luar hubungan tahap awalnya bahwa teori menjelaskan. Hipotesis baru yang disarankan oleh Gudykunst, Nishida, Koike, dan Shiino (1986) tak diragukan lagi akan diuji dalam percobaan yang dilakukan lebih lanjut oleh tim ini komunikasi para sarjana.

Sebuah Aksi Manusia Pendekatan Teori Komunikasi Antarbudaya
Menggunakan Teori Pengelolaan terkoordinasi Arti diuraikan dalam Bab 3, Barnett Perace dan murid-muridnya telah mengeksplorasi perbedaan dalam aturan penafsiran yang digunakan oleh anggota kebudayaan yang berbeda. Wolfson dan Norden (1982) tertarik untuk mengeksplorasi "makna dan implikasi dari konflik interpersonal dalam budaya Cina dan Amerika (p.1). Para peneliti menunjukkan antara keduanya Cina dan siswa Amerika salah satu dari dua segmen dari sebuah film yang disajikan rutinitas sehari-hari dan hubungan antara guru dan siswa di sekolah tinggi Amerika. Sebuah segmen yang menunjukkan pertengkaran antara murid dan guru adalah "konflik tinggi" episode. "Konflik-rendah" disajikan episode percakapan antara murid dan guru tentang rencana perguruan tinggi. Peserta dalam menyelesaikan percobaan kuesioner tentang tingkat konflik dalam film dan setuju atau tidak setuju dengan pernyataan seperti itu sebagai, "Ini adalah sebuah percakapan tegang." Kemudian mereka diminta untuk berpura-pura bahwa mereka adalah pelajar SMA ditampilkan dalam film. mereka menulis apa yang akan mereka katakan selanjutnya, kemudian menyelesaikan kuesioner tentang berapa banyak kebebasan mereka merasa mereka harus memilih jawaban. Sebagai contoh, kontras pernyataan-pernyataan seperti, "Situasi yang saya temukan diri dalam menuntut saya untuk menanggapi dengan pesan khusus ini," dan "Aku akan respon ini dengan cara agar yang akan mempunyai pola percakapan  seperti yang saya inginkan," itu dimasukkan dalam kuesioner.
Kuesioner tentang tanggapan kebebasan dimasukkan untuk mengukur kekuatan konsep logis. Anda mungkin ingat dari bab 3 bahwa dua jenis peraturan, aturan definisi dan aturan perilaku, sangat penting bagi Teori Pengelolaan Terkoordinasi Arti. Definisi aturan mengatakan kepada orang bagaimana kata atau frase harus ditafsirkan. Kirim aturan perilaku aktor apa yang harus mereka lakukan dalam suatu situasi tertentu. Misalnya, jika peserta di THS percobaan memiliki aturan perilaku yang mengatakan, "mahasiswa harus bersikap sopan kepada para guru," mungkin siswa ditunjukkan pada kuesioner di atas bahwa siswa akan bertindak dengan cara tertentu untuk "bersikap sopan." gaya logis mengacu pada kekuatan pengaruh yang menaing dan aturan terhadap perilaku. Jadi, misalnya, jika siswa aturan tentang bersikap sopan kepada guru yang relatif lemah kekuatan logis, siswa akan memiliki beberapa pilihan untuk memilih dari dalam memilih perilaku yang sesuai. Jika aturan itu logis kuat gaya ( "Siswa harus selalu bersikap sopan kepada guru apa pun yang terjadi"), siswa akan relatif sedikit kebebasan dalam memutuskan bagaimana harus bersikap.
Analisis statistik menunjukkan perbedaan budaya yang kuat antara siswa Amerika dan Cina, baik dalam persepsi konflik dan dalam kekuatan logis aturan perilaku mereka. Cina (yang umumnya ekspresi menghindari konflik terbuka dan menunjukkan rasa hormat kepada pihak berwenang, terutama guru) dianggap episode konflik lebih harmonis, menyenangkan, dan ramah daripada orang Amerika itu. Kekuatan logis dalam situasi itu juga lebih kuat daripada Amerika, tanggapan Cina memilih berdasarkan efek diantisipasi guru sebuah percakapan ( "Aku akan menanggapi dengan cara ini untuk mendapatkan pola percakapan pergi seperti yang saya inginkan," misalnya ). Mahasiswa Cina merasa kurang bebas untuk memilih tanggapan.Temuan yang terkait adalah bahwa mahasiswa Cina merasa mereka harus bertindak dengan cara tertentu terlepas dari tindakan guru. Amerika, lebih dari Cina, merasa bahwa mereka harus mengelola percakapan untuk meningkatkan citra diri mereka.
Dalam percobaan terkait, Wolfson dan Pearce (1983) meneliti perbedaan antara Cina dan Amerika aturan untuk pengungkapan diri. Hipotesis mereka bahwa anggota budaya Asia Timur Jauh berbeda dari Amerika dalam apa yang mereka anggap rahasia atau informasi publik. Barnlund (1975) menemukan bahwa orang Amerika lebih mungkin daripada Jepang mengungkapkan diri dalam berbagai konteks. Alexander, Cronen, Kang, Tsou, dan Banks (1980) menemukan bahwa lebih mengandalkan Cina (tak terucapkan) informasi demografis untuk mengenal orang lain, sedangkan orang Amerika lebih mengandalkan verbal pertukaran informasi pribadi. (Pengamatan ini mirip dengan perbedaan dalam pengurangan ketidakpastian tinggi dan konteks budaya rendah dicatat oleh Gudykunst dan rekan-rekannya.) Wolfson dan Pearce (1983) ingin menjelajahi perbedaan dalam persepsi Cina dan Amerika pengungkapan diri dan dalam pengaruh pengungkapan diri pada komunikasi selanjutnya. Para peneliti telah peserta membaca bagian-bagian dari percakapan yang ditulis dalam bahasa Inggris. Rendah percakapan pengungkapan sikap prihatin tentang musik: pengungkapan tinggi terlibat percakapan siswa mengungkapkan keraguan tentang kecukupan seksual sebagai akibat dari sebuah insiden yang terjadi pada musim semi. Seperti dalam percobaan yang dijelaskan di atas mahasiswa peserta mengisi kuesioner menggambarkan bagaimana mereka melihat percakapan, mendakwa apa yang akan mereka katakan sebagai tanggapan terhadap keterbukaan diri, dan mengungkapkan bagaimana mereka merasa bebas untuk memilih apa yang harus dikatakan selanjutnya. Peserta Cina dianggap baik dialog sebagai kurang harmonis daripada Amerika. Cina juga merasa lebih terkendala oleh kekuatan logis aturan mereka dalam percakapan pengungkapan tinggi daripada Amerika.
Kedua eksperimen lagi dijelaskan di atas menunjukkan perbedaan antara tindakan manusia dan undang-undang meliputi pendekatan untuk membangun teori komunikasi. Ingat bahwa hukum meliputi eksperimen oleh Gudykunst dan rekan-rekannya yang terlibat responden memilih strategi untuk berinteraksi dengan orang asing, kenalan, atau teman. Dalam percobaan tindakan manusia, Wolfson dan rekan-rekannya meminta peserta untuk menulis kata-kata yang sebenarnya akan mereka katakan dan untuk menunjukkan bagaimana mereka merasa bebas untuk memilih respons mereka. Ini upaya untuk menjajaki kekuatan logis dari aturan aturan yang teori unik: ia menyiratkan bahwa, sementara pilihan terbatas, responden secara sadar menyadari keterbatasan mereka. Dalam Teori Pengurangan Ketidakpastian percobaan yang dijelaskan di atas, responden tidak diminta alasan untuk pilihan mereka, karena pilihan ini yang diduga akan erat dibatasi oleh hukum-hukum sosial (norma-norma) yang mengatur situasi.Sementara kedua undang-undang dan tindakan manusia peneliti yang mempelajari pola perilaku dipengaruhi oleh aturan-aturan sosial atau hukum, penelitian hukum memperlakukan hukum sebagai "diberikan" oleh masyarakat, sedangkan penelitian tindakan manusia dirancang untuk mengeksplorasi persepsi individu aturan.

Suatu pendekatan sistem ke teori komunikasi antarbudaya
Suatu kontras yang tiba-tiba dapat dilihat di dalam sistem teori komunikasi antarbudaya oleh Young Kim. Pekerjaan Kim memfokuskan kepada pola komunikasi imigran Korea di Amerika Serikat. Melalui serangkaian studi, ia telah menginvestigasi tipe-tipe yang berbeda dari jaringan komunikasi dan efek-efeknya dalam akulturasi. Karena Kim merupakan salah satu dari peneliti awal yang menyelidiki hubungan antara komunikasi dan akulturasi, usaha pertamanya adalah mendeskripsikan kebiasaan komunikasi. Penelitian deskriptifnya yang ditampilkan dalam studi awalnya diperlukan sebelum teori-teori dapat mulai memaparkan kebiasaan komunikasi yang terjadi selama proses akulturasi.
Kim (1977a) menduga imigran yang berpartisipasi dalam jaringan-jaringan kenegaraan akan lebih berakulturasi dibandingkan dengan imigran yang hanya terlibat di dalam jaringan komunikasi imigran itu sendiri. Kim mengembangkan suatu model komunikasi untuk menjelaskan akulturasi imigran. Sebuah diagram yang mewakili modelnya adalah gambar di Figure 13.1. Model tersebut mengindikasikan akulturasi antarbudaya sangat bergantung pada persepsi; Kim memperkirakan imigran yang terakulturasi untuk mempunyai persepsi yang relatif lebih kompleks terhadap masyarakat lokal. Empat faktor yang berguna untuk membuat persepsi yang kompleks: (1) berpotensi untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat lokal dan mengonsumsi medianya, (2) kompeten di dalam berbahasa bahasa lokal (Bahasa Inggris), (3) motivasi atau keinginan kuat untuk mempelajari tentang dan berpartisipasi dalam kebudayaan lokal, dan (4) ketersediaan media massa (akses ke koran lokal, radio, dan televisi). Empat faktor ini mempengaruhi variabel hasil – kompleksitas persepsi – melalui pengaruh dua variabel mediasi atau intervensi. Variabel mediasi memodifikasi efek dari empat variabel kausal dalam kompleksitas persepsi. Dengan kata lain, model Figure 13.1 bisa dikatakan demikian: potensi interaksi, kompetensi berbahasa Inggris, motivasi berakulturasi, dan ketersediaan media massa menciptakan kompleksitas persepsi melalui pengaruh dari komunikasi interpersonal dan konsumsi media massa.
 Kim (1977a) mengetes model akulturasinya dengan cara melakukan survey menggunakan surat kepada empat ratus keluarga Korea di Chicago. Survey tersebut meliputi pertanyaan yang dirancang untuk mengungkapkan seberapa banyak teman Amerika yang dimiliki dan organisasi Amerika yang diikuti oleh imigran-imigran tersebut, seberapa tingkat kesulitan yang dihadapi imigran dalam berbicara dan memahami Bahasa Inggris, seberapa kuat keinginan mereka berteman dengan orang Amerika dan mempelajari tentang peristiwa terkini di Amerika, seberapa banyak mereka berhubungan dengan orang Amerika tiap harinya, dan media cetak dan elektronik yang mereka akses. Analisis statistik digunakan untuk membandingkan model Kim dengan hasil kuisioner. Tiga variabel kausal yang pertama terlihat pada model, (1) potensial berinteraksi dengan anggota masyarakat lokal dan mengonsumsi media, (2) kompeten di dalam berbahasa bahasa lokal (Bahasa Inggris), (3) motivasi atau keinginan kuat untuk mempelajari tentang dan berpartisipasi dalam kebudayaan lokal, yang sangat terkait dengan kompleksitas persepsi (akulturasi). Hanya (4) ketersediaan media massa (akses ke surat kabar, radio, dan televisi lokal) yang tidak berhubungan dengan akulturasi, mungkin karena satu-satunya perbedaan di antara responden melibatkan akses ke media cetak. Lebih dari 95% responden memiliki radio dan televisi. Di mana kedua variabel mediasi (komunikasi interpersonal dan komunikasi massa) penting dalam akulturasi, pengaruh komunikasi interpersonal kuat. Secara keseluruhan, hasil studi tersebut mendukung model yang dibuat Kim. Dalam keadaan tertentu, penelitian ini mendukung pentingnya komunikasi dalan proses akulturasi.
Dalam tindak lanjut pemeriksaan, Kim (1977) Kim mengeksplorasi sifat imigran Korea dalam berkomunikasi antarpribadi dengan sesama orang Korea dan dengan orang Amerika. Dengan menggunakan hasil survey yang dilaporkan di atas, Kim berusaha melacak perkembangan akulturasi imigran  dari waktu ke waktu dengan membandingkan dengan berbagai kelompok orang yang telah berada di Amerika untuk periode yang berbeda-beda. Ia menganalisa empat tipe hubungan antarpribadi: kenalan biasa, teman biasa, teman akrab, dan keanggotaan dalam organisasi. Ia menemukan bahwa tingkat “kenalan Amerika biasa” meningkat selama sembilan tahun pertama, kemudian mencapai titik puncak. Pada sembilan tahun pertamanya di Amerika, para Korea rata-rata memiliki 11 kenalan Amerika. Saat para Korea telah tinggal di Amerika antara 7 sampai 9 tahun, mereka rata-rata memiliki 124 kenalan Amerika. Pola pertemanan dengan orang Amerika dan dengan sesama Korea berbeda. Untuk teman biasa dan teman akrab, angka teman sesama Korea lebih tinggi daripada teman Amerika dan meningkat untuk 5 – 7 tahun pertama. Pertemanan dengan orang Amerika mengikuti pola yang sama, kecuali para imigran mempunyai lebih banyak teman Korea. Setelah 5-7 tahun, bagaimanapun, banyaknya teman Amerika terus meningkat, ketika banyaknya teman biasa dan teman akrab Korea mengalami penurunan. Para imigran lebih banyak berpartisipasi dalam organisasi Korea dibandingkan dengan organisasi Amerika. Pola partisipasi mengikuti pertemanan, baik dengan anggota organisasi Amerika maupun Korea, meningkat untuk beberapa tahun pertama. Kemudian anggota organisasi Amerika terus meningkat, sementara anggota organisasi Korea mengalami penurunan. Pengeksplorasian lebih dalam dari komunikasi antarpribadi ini penting karena hal tersebut mengindikasikan bahwa para orang Korea mempertahankan keanggotaan aktif baik dalam masyarakat lokal dan juga dalam komunitas etnis mereka. Hal tersebut juga menarik, melihat bahwa teman-teman satu etnis lebih penting dalam membentuk sikap di beberapa tahun pertama para imigran berada di masyarakat lokal. Seiring berjalannya waktu, teman-teman dari kultur lokal menjadi yang lebih berpengaruh.
Informasi ekstensif yang telah ia kumpulkan melalui kuisonernya memimpin Young Kim (1987) ke analisis lebih lanjut mengenai kecenderungan sikap imigran dan persepsi terhadap masyarakat Amerika. Setelah analisis statistik tambahan dari hasil kuisioner, Kim menemukan bahwa para imigran yang memiliki komunikasi antarpribadi lebih besar di dalam komunitas etnis juga cenderung memiliki banyak komunikasi dengan orang Amerika. Perilaku para imigran terhadap media massa mengikuti tren yang sama dengan pembangunan hubungan antarpribadi yang disebutkan sebelumnya. Konsumsi terhadap kedua media massa lokal dan etnis meningkat selama beberapa tahun pertama: selanjutnya, penggunaan media massa Korea menurun, ketika penggunaan media massa Amerika meningkat. Para imigran melihat perbedaan budaya antara Korea dan Amerika Serikat menjadi yang terpenting pada saat awal mereka tinggal. Mereka yang tinggal lebih lama di Amerika seperti lebih memahami kemiripan budaya. Sikap para imigran terhadap Amerika Serikat mengikuti pola yang mirip: mereka menjadi lebih positif ketika mereka menghabiskan waktu lebih lama di negara baru. Kesimpulan akhir dan paling penting dari penelitian ini adalah kontak komunikasi antarpribadi lebih memainkan peran penting dalam mempelajari tentang masyarakat lokal daripada yang dilakukan media massa. Temuan ini juga dikatakan dalam pemaparan pertama penelitian ini.
Dalam penelitian selanjutnya, Kim (1987) menjelajahi jaringan antarpribadi pada para imigran dengan lebih detail. Penelitian ini mencoba membangun teori tentang hubungan antara komunikasi antarpribadi dan akulturasi berdasarkan temuan dari penelitian yang dipaparkan sebelumnya. Kim mengeksplorasi properti jaringan antarbudaya, yang sebagian di antaranya didiskusikan pada Bab 11. Keberagaman jaringan merujuk kepada proporsi dari hubungan komunikasi yang diselenggarakan dengan orang Amerika (penduduk yang heterogen untuk para Korea). Konsep jaringa lain yang juga penting yaitu pertimbangan Kim mengenai kekuatan ikatan antara dua individu, tingkat keintiman dari hubungan mereka. Jaringan komunikasi yang lebih beragam dari imigran dan hubungan yang lebih kuat dengan orang Amerika, lebih seperti para imigran ingin berkomunikasi secara kompeten dalam budaya lokal. Orang yang memiliki banyak kontak langsung dalam jaringan pusat cukup mempertimbangkan pada jaringan. Seseorang yang kurang penting mungkin harus mengirim pesan melalui orang lain untuk mencapai penerima utama. Sebagai contoh, mahasiswa biasanya tidak mengekspresikan pendapat mereka secara langsung kepada manajer asrama, mereka biasanya mengajukan pengaduan atau memberikan komentar melalui penasihat penduduk. Kim disarankan yang berfokus pada masa depan sentralitas penelitian sejak sentralitas dapat menunjukkan seberapa dekat masyarakat adat telah terintegrasi ke dalam perawatan imigran. Kim juga menyarankan dua area eksplorasi tambahan yang dibutuhkan untuk mengembangkan teorinya: (1) mempelajari jumlah dan jenis hubungan komunikasi dengan lainnya, imigran bukan Korea; dan (2) mengamati perubahan dalam kegiatan komunikasi dan efeknya pada persepsi imigran dari waktu ke waktu. Secara keseluruhan, Kim menyimpulkan bahwa berpartisipasi dalam kegiatan komunikasi etnis tidak memfasilitasi dan mungkin benar-benar menghambat akulturasi ke dalam budaya lokal.
Kim (1987) juga memodifikasi model yang ia perkenalkan pertama kali pada 1977. Model kedua ini tergambar pada Figure 13.2. Ketika moel tersebut cukup mirip dengan model pertama, itu berbeda dalam memperkenalkan konsep kompetensi komunikasi lokal. Figure 13.3 menggambarkan perluasan kompetensi komunikasi lokal yang diperkenalkan Kim dalam penelitiannya. Di model yang terbaru, konsumsi media massa sudah ditiadakan karena hal tersebut terbukti lebih tidak penting dibandingkan dengan komunikasi antarpribadi dalam mempengaruhi persepsi imigran Korea. Komunikasi antarpribadi sudah dianalisis untuk memasukkan kompetensi komunikasi dalam kebudayaan setempat dan pengembangan relasional.
Faktor-faktor latar belakang (seperti usia dan kepribadian) sudah ditambahkan di model asli. Model Figur 13.2 lebih memperhatikan faktor internal dan disajikan sebagai model yang berjudul, “Faktor-faktor Latar Belakang Memfasilitasi Adaptasi” (1987, hlm. 200). Kim muncul untuk menggunakan adaptasi dan akulturasi dalam arti yang sama. Model dalam Figure 13.1 dan 13.2 mengilustrasikan perkembangan teori baik dari niat (pengembangan dan perluasan interal) dan perpanjangan (memperluas teori untuk memasukkan domain yang lebih besar, lihat Bab 2). Tambahan dari kompetensi komunikasi lokal adalah sebuah contoh dari perpanjangan teori tersebut untuk menutupi variabel yang tidak tersaji dalam model asli. Figure 13.3 menyajikan bukti yang lebih jauh dari pengembangan yang disengaja dari teori tersebut. Itu menggambarkan komponen-komponen yang membentuk kompetensi komunikasi dalam kebudayaan setempat. Kim dapat menambah variabel-variabel yang termasuk dalam afektif, kognitif, dan dimensi perilaku dalam bagian dengan membaca riset orang lain dan memikirkan dengan cermat tentang proses adaptasi dan dalam bagian dengan menganalisis maksud dari penelitiannya sendiri. Pada akhirnya, model komunikasi Kim mengenai adaptasi silang budaya selesai (1988, hlm. 79). Model akhir menggabungkan internal, komunikasi, dan faktor-faktor lingkungan yang hadir dalam model sebelumnya, disajikan pada Figure 13.4. Model Kim akulturasi imigran memberikan contoh yang baik tentang teori sistem karena mencakup variabel dari semua level sistem budaya: psikologis internal dan variabel linguistik, variabel jaringan komunikasi, dan variabel media massa. Model tersebutadalah contoh yang baik dari teori pembangunan karena kita dapat menelusuri revisi dan pembangunan melalui penelitian Kim yang telah dipublikasikan.

RINGKASAN
Bab ini menyajikan contoh-contoh dari teori pembangunan dalam satu konteks teori komunikasi yang paling menarik dan paling cepat- komunikasi antarbudaya. Studi antropologi memicu minat pada komunikasi antarbudaya. Perubahan pemerintahan, politik, komunikasi, dan bisnis, untuk menyebutkan hanya beberapa, telah menciptakan sebuah kebutuhan atau pemahaman yang lebih dalam mengenai proses dan kemampuan komunikasi antarbudaya. Bidang komunikasi telah menanggapi kebutuhan ini dengan pertumbuhan yang pesat penelitian dan teori pembangunan di daerah. Berbagai cabang studi budaya dan komunikasi yang melibatkan telah diidentifikasi. Perbedaan antara budaya dalam penggunaan kode verbal dan nonverbal, aturan, perilaku, dan peran dan nilai-nilai sosial telah diteliti dalam beberapa detail. Selain itu, kontribusi penting dari bidang-bidang lain seperti hipotesis Whorfian dan budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah telah didiskusikan. Sarjana komunikasi antarbudaya telah berusaha ntuk mengatasi masalah budaya daerah seperti etnosentrisme dan praduga baik melalui latihan komunikasi budaya spesifik maupun budaya umum. Pada akhirnya, kami menyajikan contoh representatif dari teori pembangunan dalam konteks komunikasi antarbudaya dari segi hukum, tindakan manusia, dan sistem perspektif. Teori Pengurangan Ketidakpastian, yang dikembangkan dalam komunikasi antarpribadi, telah diterapkan pada konteks antar budaya. Teori Pengelolaan Terkoordinasi dari Arti telah mengeksplorasi perbedaan dalam aturan dan gaya dalam komunikasi interpretasi episode dalam kebudayaan yang berbeda. Akhirnya, sistem Kim model akulturasi telah dicadangkan sebagai contoh teori kedua bangunan dari waktu ke waktu dan perbedaan antara hukum, tindakan manusia, dan pendekatan sistem.























Comments
0 Comments

No comments: