Monday, 14 January 2013

Makalah Hukum Islam



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Dalam konteks ilmu ushul fiqh diantaranya terdapat pembahasan tentang al ahkam asy syar’iyyah yang terdiri dari hukum, hakim, mahkum fiih, dan mahkum ‘alaih. Untuk menjalankan syari’at islam, kita perlu mengetahui arti dari istilah-istilah tersebut dan segala apa yang dibahas didalamnya. Karena pembahasan tersebut merupakan hal mendasar dalam Islam. Sehingga sebagai seorang muslim yang beriman, kita mempunyai dasar dalam menjalankan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

Banyak orang islam yang menjalankan ibadah itu karena factor taqli (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.
  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
    1. Apa pengertian hukum dan semua masalah yang berhubungan dengannya?
    2. Apa pengertian hakim dan segala permasalahannya?
    3. Apa pengertian mahkum fiih dan hal yang dibahas di dalamnya?
    4. Apa pengertian mahkum ‘alaih dan penjabarannnya?


BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM
1.      Pengertian Hukum
Menurut bahasa, hukum adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedangkan menurut istilah, hukum adalah kalam syar’i yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf (orang dewasa), baik berupa tuntutan yang berbentuk perintah atau larangan, ataupun kebolehan memilih, atau menjadikan sesuatu sebagai adanya yang lain (menjadikan tanda-tanda hukum berupa sebab, syarat atau penghalang)
Menurut ulama’ ushul fiqih, yang dimaksud dengan hukum adalah kalam Allah/hadits Nabi (dalilnya). Misalnya perintah sholat dan larangan zina yang terdapat dalam Al Quran. Sedangkan menurut ulama’ fiqih, yang dimaksud dengan hukum ialah akibat dari firman atau kalam Allah. Misalnya kewajiban sholat dan haramnya zina.
2.      Pembagian Hukum
Berdasarkan definisinya, hukum terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadl’i.
A.    Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang berupa firman Allah yang mengandung beban bagi orang mukallaf baik berupa tuntutan untuk mengerjakannya, meninggalkannya, ataupun memilih untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
Contoh hukum taklifi diantaranya:
1)       Berupa perintah untuk mengerjakan << خذ من أموا لهم صدقة >>
2)       Berupa perintah untuk meninggalkan << ولا تقربوا الزنا >>
3)       Berupa pilihan << وإذا حللتم فصطا دوا >>
Hukum taklifi ada lima macam, yaitu:
1.      Ijab, tuntutan syar’i yang menuntut terwujudnya perbuatan dengan tuntutan yang tegas dan mengikat. Terdapat sanksi jika meninggalkan. Sedangkan perbuatan yang dituntut disebut wajib.
2.      Nadb, firman Allah yang menuntut terwujudnya perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas dan tidak mengikat. Jika tidak dikerjakan maka tidak ada sanksi. Sedangkan perbuatan yang dituntut disebut mandub.
3.      Tahrim, firman Allah yang menuntut ditinggalkannya perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Menunjukkan keharusan untuk meninggalkan. Sedangkan perbuatan yang dituntut disebut haram.
4.      Karahah, firman Allah yang menuntut ditinggalkannya perbuatan tapi dengan tuntutan yang tidak tegas dan tidak mengikat. Jika mengerjakan maka tidak ada sanksi. Sedangkan perbuatan yang dituntut disebut makruh.
5.      Ibahah, firman Allah yang membolehkan memilih mengerjakan atau meninggalkan. Tidak dikenai sanksi baik mengerjakan ataupun meninggalkan. Sedangkan perbuatan yang boleh dipilih disebut mubah.
Perbuatan orang Mukallaf
  1. Wajib
sesuatu yang diminta dilakukan oleh Allah kepada mukallaf yang sesuatu itu harus dilakukan.
Hukum wajib itu dibagi dari berbagai segi tinjauan, diantaranya:
a.      Ditinjau dari segi waktu menunaikannya
  1. Wajib muaqqat, sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Seperti, sholat lima waktu dan puasa ramadhan.
  2. Wajib muthlaq, sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan tanpa ada waktu yang ditentukan. Seperti kewajiban membayar kafarat, haji.
b.      Ditinjau dari segi orang yang diminta melakukannya
  1. Wajib ‘aini, kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf. Misalnya, sholat lima waktu, puasa ramadhan.
  2. Wajib kifai, kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Misalnya, sholat jenazah, amar ma’ruf nahi munkar.
c.       Ditinjau dari segi ketentuan yang diminta
  1. Wajib muhaddad, suatu kewajiban yang telah ditentukan ukurannya oleh syara’ dengan ukuran tertentu. Misalnya jumlah rakaat dalam sholat fardlu, jumlah harta yang wajib dizakati. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah ataupun dikurangi.
  2. Wajib ghairu muhaddad, kewajiban yang ketentuannya tidak ditentukan oleh syara’. Misalnya, infaq fi sabilillah.
d.      Ditinjau dari segi kandungan perintah
  1. Wajib mu’ayyan, kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan. Misalnya, sholat lima waktu, puasa.
  2. Wajib mukhayyar, suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih oleh orang mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surat Al Maidah:89 yang mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas, memberi makan fakir miskin, memberi pakaian, atau memerdekakan budak.
  1. Mandub/Sunnah
sesuatu yang diminta dilakukan oleh Allah kepada mukallaf yang sesuatu itu tidak mengandung suatu keharusan dalam pelaksanaannya.
Mandub/sunnah dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
  • Sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), pekerjaan yang apabila dilakukan mendapat pahala, apabila ditinggalkan tidak berdosa namun mendapatkan celaan. Misalnya, sholat sunnah rawatib, sholat tahiyyatul masjid, dsb.
  • Sunnah ghairu muakkadah (sunnah bisaa), pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala tapi jika ditinggalkan tidak mendapat dosa dan tidak pula celaan. Misalnya, sholat dluha, puasa senin kamis.
  • Sunnah zaidah (sunnah yang bersifat tambahan), suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasul. Misalnya, cara Rasul makan, minum, tidur, atupun berpakaian, dsb.
  1. Haram
Haram dapat dibagi menjadi 2, yakni:
  • Haram li dzatihi, sesuatu yang sejak awal telah ditentukan keharamannya oleh syar’i. Misalnya, memakan bangkai, babi, berjudi, zina, dsb.
  • Hara li ghairihi, sesuatu yang pada mulanya disyari’atkan, tetapi dibarengioleh sesuatu yang bersifat mudharat bagi manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanya madharat tersebut. Misalnya, sholat dengan menggunakan pakaian hasil ghashab, melakukan transaksi jual beli saat adzan jum’at berkumandang, puasa di Hari Raya Idul Fitri.
  1. Makruh
Ulama’ Hanafiyyah membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu:
  • Makruh tanzih, sesuatu yang dituntut syar’I untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya
  • Makruh tahrim, tuntutan syar’I untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang dzanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki.
  1. Mubah
sesuatu yang telah diperbolehkan syara’ bagi orang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya.
Demikianlah pembagian hukum taklifi menurut jumur ushuliyyin. Adapun menurut ulama’ Hanafiyyah, hukum taklifi terbagi menjadi 7 macam, yaitu:
1)      Fardlu, suatu tuntutan syar’i yang mengandung permintaan yang tegas dengan dikuatkan dalil qath’iy, baik dari Al Quran atupun hadits Nabi saw (mutawatir). Misalnya, sholat lima waktu, hukumnya fardlu sebagaimana firman Allah :    << أقيموا الصلاة >> (dalil qath’iy)
2)      Wajib, suatu tuntutan syar’i yang mengandung ketegasan namun dengan dikuatkan dalil dzanniy atau kiasan. Misalnya, membaca fatihah dalam sholat, hukumnya wajib sebagaimana
sabda Nabi: << لاصلاة إلا بفاتحة الكتا ب >>
3)      Mandub, suatu perbuatan yang diminta untuk dilakukan tapi dengan tuntutan yang tidak tegas dan tidak mengikat.
4)      Muharram, tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas dan diperkuat dengan dalil qath’iy. Misalnya, seperti dalam firman Allah: << لاتقربوا الزنا >>
5)      Makruh tahriman, tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas dan diperkuat dengan dalil dzanniy
6)      Makruh tanzihan, tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas dan tidak mengikat.
7)      Mubah (pengertiannya sama dengan pengertian yang dikemukakan jumhur ulama’ ushul fiqh/mutakallimin.
B.     Hukum Wadl’i
Hukum wadl’i adalah hukum yang berupa firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Contoh hukum wadl’i diantaranya:
  • Berupa sebab bagi suatu yang lain << أقم الصلاة لدلوك الشمش . . . >>
  • Berupa syarat bagi suatu yang lain << لانكاح إلابشا هدين >>
  • Berupa penghalang bagi suatu yang lain << ليس للقا تل ميراث>>
Macam hukum wadl’i ada 5 yaitu:
1.      Sebab, sesuatu sifat/keadaan yang karena adanya menjadi sebab timbulnya hukum taklifi. Adanya sebab menjadikan adanya hukum, dan ketiadaan sebab, menjadikan ketiadaan hukum pula. Misalnya, tiba suatu waktu (terbenamnya matahari) menjadikan wajibnya pelaksanakan sholat maghrib (sholat fardlu), sakit menyebabkan seseorang boleh berbuka saat puasa Ramadhan, dsb.
2.      Syarat, sesuatu yang harus ada untuk terjadinya hukum taklifi. Ketiadaan syarat itu menyebabkan ketiadaan hukum, namun adanya syarat belum tentu menyebabkan adanya hukum. Misalnya, wudlu merupakan syarat sah sholat, orang akan sholat harus berwudlu, namun jika orang berwudlu itu belum tentu semata-mata melaksanakan sholat.
3.      Mani’, sesuatu yang menjadi penghalang adanya hukum taklifi. Adanya mani’ menyebabkan ketiadaan hukum. Misalnya, membunuh pewaris menyebabkan ia dilarang mendapatkan warisan darinya.
4.      Rukhshoh dan ‘azimah
Rukhshoh, keringanan hukum dari Allah bagi orang mukallaf dalam keadaan tertentu. Misalnya, karena bepergian, seseorang mendapat keringanan untuk menjama’ atau mengqashar sholatnya.
Azimah, ketentuan Allah yang sifatnya umum, mutlak tidak dibatasi, baik oleh masa, tempat atau sesuatu hal dan sudah sejak awal. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu, dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun harus dilaksanakan, sholat jum’at wajib bagi muslim laki-laki.

5.      Shihhah dan buthlan (bathil)
Shihhah, suatu hukum yang sesuai dengan ketentuan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan sholat dzuhur setelah tergelincirnya matahari (sebab) dan telah berwudlu (syarat) serta tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dsb.). Pekerjaan yang dilakukan ini hukumnya sah.
Buthlan (bathil), terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya, sholat tanpa fatihah maka batal, nikah tanpa saksi maka batal (tidak sah), karena tidak terpenuhi syarat dan rukunnya.

  1. Hakim
Hakim yaitu yang menjadi sandaran hukum (sumber hukum), yang membuat dan menetapkan hukum. Tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa hakim itu ialah Allah. Sebagaimana telah diketahui, bahwa untuk membawa dan menyampaikan hukum kepada manusia, maka hakim (Allah) mengutus para Rasul sebagai perantara.
Ulama’ berbeda pendapat tentang bagaimana ketentuan hukum syari’at terhadap perbuatan orang mukallaf. Apakah mungkin mereka mampu mengetahui tentang baik buruknya sesuatu (hukum Allah) sebelum sampainya dakwah Rasul hanya dengan menggunakan akal? Ataukah tidak mungkin bagi akal untuk mengetahui hukum Allah tentang perbuatan orang mukallaf sebelum sampainya dakwah Rasul? Dalam hal inilah para ulama’ berbeda pendapat, diantaranya:
  • Menurut Asy’ariyah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at. Akal hanya mampu menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan Al Quran (wahyu) dan Rasul. Jadi perbuatan orang mukallaf sebelum sampainya dakwah Rasul, tidak dibebani oleh hukum syari’at dan baru dihitung sejak sampainya dakwah Rasul kepada mereka.
  • Menurut Mu’tazilah, akal mampu menentukan baik buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara’ meskipun tanpa perantara wahyu. Jadi perbuatan orang mukallaf sebelum sampainya dakwah Rasul, telah ditetapkan hukumnya oleh akal. Manusia sudah dibebani kewajiban melakukan perbuatan yang menurut akal baik, maka akan diberi imbalan. Sebaliknya, sesuatu yang menurut akal itu jelek, maka jelek menurut syara’ dan dilarang mengerjakannya.
  • Menurut Maturidiyah, akal tidak berdiri sendiri, namun harus dibarengi dengan nash (wahyu). Dengan kata lain, walaupun akal mampu mengetahui sesuatu itu baik ataupun buruk, namun wahyulah yang menetapkan keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Begitu pula dengan pemberian imbalan dan hukuman.
  1. Mahkum Fiih
a.      Pengertian
Mahkum fiih yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (objek hukum). Misalnya, firman Allah dalam surat Al An’am:151 yang artinya “Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…”. dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa hak itu hukumnya haram.
b.      Syarat-Syarat Mahkum Fiih
Syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum) ada 3, yaitu:
  1. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan sholat misalnya, sebelum ia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara sholat tersebut.
  2. Mukallaf harus mengetahui sumber hukum, yakni Allah swt. Sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata.
  3. Perbuatan harus mungkin untuk dilakukan atau ditinggalkan, dengan syarat:
Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan, baik berdasarkan zatnya atau dilihat dari luar zatnya.
Kedua, tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan untuk orang lain.
Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang merupakan fitrah manusia seperti gembira, marah, takut, dsb karena hal itu berada di luar kendali manusia.
  1. Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih yaitu orang mukallaf yang baginya telah dibebankan suatu hukum syari’at. Dengan demikian anak kecil, orang gila, orang kafir, dan orang yang belum tahu syari’at tidak terbebani hukum syara’.
Syarat-Syarat Taklif
  1. Orang itu telah mampu memahami khitab syar’i (tuntutan syar’i) yang terkandung dalam Al Quran dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Hal itu karena orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami tuntutan syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu hukum.
  2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah.
Ahliyyah
Ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan rohaninya, memiliki kemampuan untuk bertindak, sehingga seluruh perbuatannya dapat dinilai oleh syara’. Oleh karena itu, kemampuan ini menjadi dasar adanya taklif.
Kemampuan (ahliyyah) dibagi menjadi dua, yakni:
  1. Ahliyyah wujub,
sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah wujub adala sifat kemanusiaan (tidak dibatasi umur, baligh, akal, dsb.)
Ahliyyah wujub dibagi menjadi dua, yaitu
Ø  Ahliyyah wujub naqishah, anak yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ada 4 hak bagi janin, hak keturunanan dari ayahnya, warisan, wasiat, dan harta wakaf.
Ø  Ahliyyah wujub kamilah, bagi anak yang telah lahir hingga dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
  1. Ahliyyah Ada’
sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Bila perbuatannya sesuai ketentuan syara’, telah dianggap memenuhi kewajiban dan berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya jika melanggar ketentuan, maka dianggap berdosa. Dan yang menjadi ukuran penentuan ahliyyah ada’ adalah ‘aqil, baligh, dan cerdas.



BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah tersaji dalam bentuk tulisan ini, maka dapat dikemukakan kesipulan sebagai berikut:
  1. Hukum merupakan suatu aturan yang mengatur tingkah laku atau perbuatan orang mukallaf dalam menjalankan syari’at Islam.
  2. Sudah tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa hakim ialah Allah swt. Dialah yang merupakan sumber dari segala hukum, yang mengatur segala urusan dan tata kehidupan manusia.
  3. Mahkum fiih yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (objek hukum). Dan untuk bisa menjadi objek hukum, memiliki beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi. Sehingga akan benar-benar jelas dalam pelaksanaannya.
  4. Mahkum ‘alaih yaitu orang mukallaf yang baginya telah dibebankan suatu hukum syari’at. Dengan demikian anak kecil, orang gila, orang kafir, dan orang yang belum tahu syari’at tidak terbebani hukum syara’.



Bibliografi / Daftar Pustaka
1.      Khalaf, Abdul Wahab. 1978. Ilmu Ushul Al Fiqh. Kairo: Darul Qalam.
2.      Syafe’i, Rachmat, Prof. Dr. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
3.      Amiruddin, Zen, Drs. H. 2006. Ushul Fiqih. Surabaya: eLKAF.
4.      Hanafie. A. 1980. Usul Fiqh. Jakarta: Widjaya Jakarta.


Comments
0 Comments

No comments: