A. Pendahuluan
Sebuah karya sastra tidak lahir dalam
situasi kosong kebudayaannya, termasuk dalamnya situasi sastra (teeuw, 1980
dalam Rachmat; 2007). Karya sastra mempunyai
hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian.
Hubungan sejarah ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal
demikian, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan
karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya.
Di dalam makalah ini, penulis akan
mengkaji novel Namaku Hiroko karya
N.H. Dini dan Memoirs of a Geisha
karya Arthur Golden dengan pendekatan Intertekstualitas. Penelitian intertekstual
merupakan bagian dari sastra bandingan yang mengkaji keterkaitan antar sastra
dan perbandingan sastra dengan bidang lain. Munculnya studi interteks,
sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah sastra. Maksudnya,
jika dalam tradisi sastra terdapat pinjam meminjam antara sastra yang satu
dengan yang lainnya, akan terlihat pengaruhnya. Dalam penyusunan sejarah sastra, periodisasi
merupakan salah satu prinsipnya. Periodisasi adalah pembabakan waktu atau
periode-periode sastra.
B. Landasan
Teori
Pengertian paham atau prinsip
intertekstualitas berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam
strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaques
Derrida dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip ini bermakna bahwa setiap teks sastra
dibaca dan harus dengan latar belakang teks-teks lain.
Secara luas interteks
diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain.
Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna di antara
dua teks atau lebih. Hubungan antarteks
ini bukan hanya mengenai pikiran-pikiran yang dikemukakan, melainkan juga
mengenai struktur penceritaan atau alurnya. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai
persamaan genre, interteks juga memberikan
kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram.
Hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya
berikutnya. Hutomo (dalam Sudikan) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita
(baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat
dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang
dipengaruhinya. Karya berikutnya yang muncul setelah
hipogram dinamakan karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan
berjalan terus menerus sejauh proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan “induk”
yang akan menghasilkan karya-karya baru. Dalam hal ini, peneliti sastra
berusaha membandingkan antara karya induk dengan karya baru. Namun, tidak ingin
mencari keaslian sehingga muncul anggapan bahwa karya yang lama/lebih tua itu
lebih baik ketimbang karya baru. Studi interteks ini justru ingin melihat
tingkat kreativitas pengarang.
Penelitian
interteks sebenarnya merupakan usaha pemahaman sastra sebagai sebuah
“presupposition” yakni sebuah perkiraan bahwa suatu teks baru mengandung teks
lain sebelumnya. Perkiraan ini, tentu ada yang tepat dan ada
yang meleset, tergantung kejelian peneliti. Secara garis besar, penelitian
intertekstual memiliki dua fokus, yaitu : 1) meminta perhatian kita tentang
pentingnya teks yang terdahulu, dan 2) intertekstual akan membimbing peneliti
untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan
lahirnya berbagai efek signifikansi.
Kajian
intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya.
Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan
tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks
kesastraan yang ditulis sebelumya. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh, misalnya,
sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada
hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara.
Sebelum
para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi moderennya, di masyarakat
telah ada berbagai
bentuk puisi lama,
seperti pantun dan
syair, di samping mereka juga berkenalan dengan puisi angkatan 80-an di
negeri Belanda yang telah mentradisi. Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan
kawan-kawan seangkatannya menulis puisi
dan prosa di masyarakat juga telah ada
puisi-puisi modern ala Pujangga baru, berbagai puisi drama, di samping
tentu saja puisi-puisi lama.
Demikian
pula halnya dengan penulisan prosa, dan begitu seterusnya, terlihat adanya
kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya.
Penulisan suatu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari unsur kesejarahannya,
dan pemahaman terhadapnya pun haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh baru dapat
digali dan diungkap
secara tuntas dalam
kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut.
Adanya hubungan
intertekstualitas dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya
pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu
dengan teks yang lain. Adapun
keterkaitan antar teks tersebut dapat berupa hubungan karya-karya sastra masa
lampau, masa kini, dan masa depan. Dapat juga dikatakan dengan istilah hubungan
sinkronik dan hubungan diankronik antarteks. Unsur-unsur hipogram yang dijumpai dalam kajian intertekstual juga
berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalaman peneliti/pembaca
sastra dalam membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukkan terhadap adanya
unsur-unsur hipogram pada suatu karya dari karya – karya lain pada hakikatnya
merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
Hal yang dapat dikerjakan dalam
membuktikan kutipan-kutipan, penyerapan, atau transformasi dari teks-teks lain
adalah dengan menguraikan dan menggambarkan kasus-kasus atau kejadian-kejadian
(by showing in ases) yang dipermasalakan di dalam teks sasra, baik kasus-kasus
atau kejadian-kejadian yang meneladani maupun yang menenang (Culler dalam
Sanidu). Dengan demikian, hal ini dapat menimbulkan satu
pembahasan yang nantinya akan dikaji lebih menjauh mengenai keterkaitannya baik
itu berupa persamaan maupun perbedaan. Teks yang satu dengan yang lainnya
dikaji dari berbagai sisi, yang memiliki keterkaitan antar teks tersebut.
Sebagaimana disampaikan oleh Riffaterre,
bahwa didalam prinsip intertekstual diperlukan suatu metode perbandingan dengan
membandingkan unsur-unsur struktur secara menyeluruh terhadap teks-teks sastra
yang akan diteliti. Metode demikian merupakan bukti yang dapat dipandang
ilmiah. Karena itu, untuk mengungkapkan hubungan intertekstual antara teks
sastra yang satu dengan yang lainya, tentu juga diperlukan metode perbandingan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, yaitu dengan membandingkan
unsur- unsur struktur secara menyeluruh yang terdapat di dalam kedua teks
sastra atau lebih karya sastra yang akan diteliti. Adapun teknik
membandingkannya ada;lah dengan ,menjajarkan unsur-unsur struktur secara
menyeluruh yang terdapat di dalam karya-karya satsra yang diperbandingkan.
C.
Ringkasan Novel
Novel 1
Namaku
Hiroko
Novel ini berkisah tentang seorang gadis
berusia sekitar 16 tahun bernama Hiroko
Ueno Ueno adalah nama keluarga, Hiroko adalah nama diri. Menyebutkan nama orang
Jepang selalu dimulai dari nama keluarga. Ia adalah anak sulung Yamasaki Ueno,
seorang petani biasa di pulau besar yang terletak paling selatan Jepang. Ketika
berusia 4 tahun, ibunya meninggal,lalu ayahnya kawin lagi. Ibu tirinya
adalah wanita pekerja keras dan sangat menyayangi Hiroko. Dari istri yang kedua
ini lahirlah 2 orang anak laki-laki.
Kehidupan
keluarga Hiroko serba kekurangan. Sejak lulus sekolah dasar Hiroko tidak melanjutkan
pendidikan. Ia hanya tinggal di rumah menolong ibunya. Di musim-musim dahsyat
atau pergantian musim dan menghancurkan panen, biasanya mereka harus meminta
bantuan penyambung hidup dari orang-orang desa yang lebih mampu sampai
pergantian musim mendatang.
Pada suatu
hari, Tuan Tamura, seorang laki-laki berprofesi tengkulak datang meminta kepada
ayah Hiroko agar ia bekerja di rumah saudaranya di kota. Demi menuruti perintah
orangtua ia menerima pekerjaan itu.
Hiroko
bekerja sebagai pembantu di rumah suami istri yang sudah lanjut umurnya. Kegiatan yang
ia lakukan seperti mencuci pakaian, merenda, dan mengerjakan pembersihan
tahunan.
Suatu hari,
datang seorang pemuda bangsa asing ke rumah majikannya hendak mempelajari tata
cara dan bahasa Jepang. Hiroko tertarik kepadanya karena belum pernah hidup
berdekatan dengan seorang pemuda. Namun perjumpaannya dengan pemuda itu sangat
singkat karena tiba-tiba Hiroko harus pulang untuk mengikuti upacara
menyembahyangkan neneknya yang meninggal.
Hampir
sepuluh bulan lamanya Hiroko menganggur di desa. Suatu hari ia bertemu dengan
teman kecilnya, Tomiko yang mengajaknya bekerja ke kota Kobe. Tomiko bekerja di
rumah konsul bangsa Perancis, pasangan suami istri muda dengan anaknya
laki-laki bermur 4 tahun. Untuk kedua kalinya, Hiroko bekerja sebagai pembantu
di rumah suami istri muda, dengan bayi mereka berumur beberapa bulan. Rumahnya
terletak tidak jauh dari tempat Tomiko bekerja.
Sehabis
bekerja, setiap malam Hiroko dapat pergi ke permandian umum karena rumah
majikannya tidak memiliki kamar mandi. Disana ia bisa bertemu para pembantu dan
membicarakan bermacam-macam hal tentang kehidupan kota yang sangat asing
dirasakannya, seperti gaya berpakaian, model rambut, model sepatu sampai kepada
laki-laki idaman.
Suatu hari, muncul seorang pemuda bernama Sanao,adik
majikan perempuannya. Sanao adalah tipe laki-laki idamannya,Tubuhnya tegap,
yang nyata memperlihatkan kekuatannya. Dan dengan Sanao, Hiroko pertama kali
menyerahkan keperawanannya.Waktu itu ia berumur hampir sembilan belas tahun.
Bukan hanya Sanao saja yang telah menikmati tubuh Hiroko, majikannyapun telah
memperkosanya berkali-kali selama majikan perempuannya tidak berada di rumah.
Sejak peristiwa itu, Hiroko mulai memandang sekelilingnya
dengan mata yang lebih teliti. Pikirnya, jika seorang pria tidur dengan seorang
perempuan tentulah disebabkan oleh cinta. Namun ketika tak berapa lama kemudian
Sanao akan kembali ke kota asalnya, Hiroko tidak berani berharap apapun. Ia
memaksa dirinya untuk mengingat Sanao
sebagai kenangan baik, atau sebagai peristiwa tibanya di dunia
kedewasaan.
Pada suatu hari libur, ia pergi ke rumah majikan Tomiko,
lalu bertemu dengan seorang wanita bernama Michiko. Ia bekerja di sebuah bar
Moonlight, ia bisa berdansa dan pandai menarik langganan . Michiko begitu
memukau Hiroko, mulai dari tubuhnya yang tinggi, tatanan rambut, pakaian yang
melekat pas pada tubuhnya sampai cincin emas bertahtakan mutiara yang
dikenakannya. Selain itu, Hiroko sangat kagum akan kepercayaan diri yang besar
pada Michiko. Melalui perbincangan dengan Michiko, Hiroko bertekad untuk
belajar menari agar dapat memperoleh banyak uang seperti Michiko.
Akhirnya
Hiroko keluar dari pekerjaannya dan melamar sebagai pegawai toko. Karena ia
dipercaya, ia menjadi model rias wajah, rambut dan busana oleh Nakajima,
pimpinannya, dan mengikuti berbagai pameran di beberapa kota. Sambil bekerja ia
mulai masuk sekolah dansa dan berteman dengan Natsuko, seorang perempuan yang
pendiam dan pemalu.
Kemudian
muncullah seorang laki-laki yang telah
beristri bernama Yukio Kishihara, ke toko tempat Hiroko bekerja.Mereka menjalin
hubungan beberapa lama sampai kemudian muncul tokoh pemuda bernama Suprapto.
Kisah
pertemuan Hiroko dengan Suprapto bermula ketika Hiroko menerima tawaran bekerja
sebagai penari telanjang dalam pertunjukan kabaret di klub Manhattan. Karena ia
sangat menginginkan uang dan sudah dapat menari maka pekerjaan ini ia lakukan
walaupun tidak diketahui oleh teman-teman di kantor.
Hubungan
Hiroko dengan Suprapto, seorang pemuda yang berasal dari Indonesia cukup lama.
Mereka tinggal bersama di apartemen Hiroko. Ketika Hiroko hamil dari hubungannya
dengan Suprapto, ia memutuskan untuk menggugurkannya, dan ketika Suprapto
mengajak Hiroko untuk menikah dan tinggal di Indonesia, ia menolak. Akhirnya
Suprapto meninggalkan Hiroko, pulang ke Indonesia.
Pada suatu
kesempatan bertemulah Hiroko dengan Yoshida, yang adalah suami Natsuko,
temannya di sekolah dansa. Yoshida jatuh hati kepada Hiroko, demikian pula
sebaliknya. Akhirnya Hiroko mengakui bahwa dia tidak dapat melepaskan Yoshida,
dan Yoshidapun demikian. Walaupun di tengah kebahagiaan mereka Natsuko
melakukan pencobaan bunuh diri, namun Yoshida tidak bahagia hidup dengan
Natsuko dan memilih untuk membelikan Hiroko rumah, mereka hidup bersama hingga
lahir seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.
Novel 2
Memoirs
of a Geisha
Pada tahun
1929, dikisahkan seorang anak berusia sembilan tahun bernama Chiyo, tinggal di
sebuah kampung nelayan kecil di kota Yoroido, Jepang. Ia tinggal bersama seorang kakak
perempuan yang bernama Satsu dan kedua orang tuanya. Kondisi keluarga mereka
sangat miskin, ayahnya sudah tua untuk mencari nafkah sedangkan ibunya sedang
sakit parah. Tidak tahan dengan beban tersebut akhirnya Chiyo dan Satsu di jual
oleh ayahnya melalui tuan Tanaka kepada Nitta Okiya, salah satu pemilik rumah
geisha di distrik Gion. Chiyo di ambil untuk tinggal di
Okiya karena dianggap memenuhi kriteria yang memadai untuk didik menjadi
seorang geisha, sedangkan Satsu bernasib malang ia di jual kesebuah rumah
pelacuran. Kakak beradik tersebut akhirnya terpisah.
Kehadiran Chiyo di Okiya, rupanya tidak membuat Hatsumomo (seorang
Geisha yang tinggal di rumah Nitta) senang, dia melihat potensi besar pada diri
Chiyo yang membuatnya takut tersaingi. Chiyo memiliki paras yang cantik
sehingga jika dilatih sejak kecil, Chiyo bisa tumbuh menjadi seorang geisha
yang terkenal dan banyak diminati, hal tersebut sangat ditakuti olehnya. Karena
alasan tersebut, Chiyo mendapat perlakuan buruk dari Hatsumomo agar Chiyo tidak
mendapat pelatihan untuk menjadi seorang geisha.
Suatu ketika, dalam kondisi mabuk Hatsumomo membawa sebuah kimono mahal yang
dicuri dari Mameha, seorang saingannya sebagai geisha. Mameha adalah geisha
paling berhasil di distrik Gion. Hatsumomo memaksa Chiyo untuk merusak kimono
Mameha dan tentunya Chiyo harus mengembalikan kimomo rusak tersebut ke Mameha.
Chiyo terpaksa mau dengan harapan Hatsumomo akan memberitahu rumah pelacuran
tempat Satsu tinggal. Dari situlah awal perjumpaan Chiyo dengan Mameha.
Setelah memperoleh informasi mengenai keberadaan Satsu, Chiyo-pun
mencarinya dan berusaha kabur bersamanya. Namun, usaha itu gagal. Hingga, Chiyo
mendapat kabar dari tuan Tanaka melalui suratnya, bahwa Satsu telah kabur dari
rumah pelacuran, dan pergi entah kemana bersama pacarnya dari Yoroido, dan
tidak terdengar sama sekali kabarnya, sedangkan kabar yang lebih buruk yaitu
kedua orang tua mereka telah meninggal dunia. Berita tersebut telah memukul
perasaan Chiyo. Dia merasa hidupnya sudah tidak berarti lagi.
Ketika Chiyo sedang menangisi nasibnya disebuah jembatan, Dia dihampiri
oleh seorang pria dewasa bernama Ken Iwamura, yang membelikannya kembang gula,
lalu memberinya uang yang dibungkus dalam sebuah saputangan. Chiyo sangat
bahagia, tiba-tiba tumbuh keinginannya untuk menjadi seorang geisha dengan
harapan kelak dia bisa berjumpa kembali dengan pria yang membelikannya kembang
gula.
Beberapa tahun kemudian, Chiyo menarik perhatian Mameha – geisha paling
berhasil di distrik Gion dan geisha yang mendapat penawaran tertinggi untuk
melepas keperawanannya. Seiring berjalannya waktu, Mameha membentuk Chiyo
menjadi seorang geisha yang cantik, berkepribadian, pandai menyanyi, menari dan
bermain musik. Dan Chiyo-pun mendapat nama baru yaitu Sayuri. Geisha Sayuri
berhasil menyita perhatian banyak orang dan terkenal di Gion dan yang
terpenting Sayuri bisa bertemu dengan Ken Iwamura, yang ternyata seorang
pemimpin dari sebuah perusahaan besar.
Puncak dari populeritasnya sebagai geisha, Sayuri menjadi
geisha yang mendapat penawaran tertinggi untuk melepas keperawanan. Orang yang
berhasil memberi penawaran tertinggi yaitu seorang dokter yang bernama Dr.
Crab. Uang yang diperoleh tersebut cukup untuk melunasi hutang Chiyo pada Nitta
Okiya, sehingga pada akhirnya Chiyo bisa terlepas dari cengkraman Nitta Okiya.
Suatu saat, terjadi Perang Dunia Kedua dan suasanapun berubah drastis.
Komplek Geisha di Gion-pun ditutup, para wanitanya di kirim ke pabrik-pabrik
untuk bekerja, Nasib Mameha dan Sayuri lebih baik, mereka dapat pertolongan
dari ketua dan dikirim ke pabrik tektil yang kondisinya tidak terlalu berat
untuk dikerjakan oleh Sayuri dan Mameha.
Hingga pada akhirnya Sayuri menjadi simpanan dari sang ketua, Sayuri
menemani sang ketua di sebuah Villa yang dibeli sang ketua, dan menghiburnya
dari tahun ketahun, tetapi tidak membuatnya bosan karena Sayuri berpikir itulah
takdirnya untuk selalu bersama sang ketua, lelaki cinta pertama dan
terakhirnya. Beberapa tahun kemudian Sayuri
pindah ke New York
dan membuka Tea House miliknya sendiri. Dan Sayuri menghabiskan sisa hidupnya
di sana.
D. Pembahasan Novel Namaku Hiroko dan Memoirs of A
Geisha
Kajian
intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra),
yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan
adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot,
penokohan, (gaya)
bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Berikut ini merupakan
penjabaran terkait hubungan intertekstual yang terdapat dalam novel Namaku Hiroko dan Memoirs of a
Geisha.
1. Latar
Belakang Pengarang dan Novel
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada
pengarang novel ‘Namaku Hiroko’ dan ‘Memoirs of A Geisha’.
Nh. Dini adalah seorang wanita
yang mengarang novel ‘Namaku Hiroko’. NH. Dini (dengan nama lengkap Nurhajati
Srihardini) lahir di Semarang
pada tanggal 29 Pebruari 1936. Dini menikah
dengan seorang diplomat Perancis dan pernah lama tinggal di Jepang. N.H. Dini adalah sastrawan wanita Indonesia yang
menonjol pada akhir dekade 80-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada
Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai.
Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah
kuatnya pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama biasanya mempunyai
konflik dengan pemikiran timur.
Arthur
Golden dilahirkan dan dibesarkan di Chattanooga, Tenesse. Dia merupakan lulusan Harvard College tahun 1978, dari jurusan sejarah
kesenian, khususnya kesenian Jepang. Pada tahun 1980 dia memperoleh gelar MA
dalam bidang sejarah Jepang dari Columbia University, tempat dia juga belajar
bahasa Mandarin. Setelah melewatkan satu musim panas di Universitas Beijing,
dia bekerja di sebuah majalah di Tokyo. Setelah tinggal dan bekerja di Jepang,
dia mengajar penulisan dan kesusastraan di daerah Boston. Memoirs of a Geisha
adalah novel pertamanya yang dibuat selama 6 tahun. Novel ini tercetus ketika
Arthur bekerja di Jepang dan bertemu seorang pemuda yang ayahnya pengusaha
terkenal dan ibunya mantan Geisha.
Novel Namaku Hiroko
ditulis pada tahun 1977 dan
diterbitkan pada tahun 1986. Dalam novel ini terdapat penguraian peristiwa yang
terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia ke-2. Tokoh utama (Hiroko) tidak
memiliki konflik sebelum peperangan itu terjadi. Hanya saja, dalam novel
tersebut dikisahkan sedikit cerita mengenai pamannya yang bekerja menjadi
seorang dosen di universitas agama setelah perang dunia ke-2 berakhir.
Berbeda dengan Memoirs
of a Geisha, ditulis pada tahun 1990an dan diterbitkan di Indonesia pada
tahun 2002. Dalam novel ini terdapat penguraian peristiwa sejak sebelum terjadinya
Perang Dunia ke-2 hingga berakhirnya perang tersebut. Begitu detail penulis
mendeskripsikan alur segala peristiwa dengan segala perubahan suasana antara
sebelum peperangan, pada masa peperangan, dan berakhirnya peperangan.
2. Kultur
Budaya dalam Cerita
Terdapat
persamaan dalam kedua novel ini, yaitu dengan latar budaya negara Jepang.
Jepang penuh dengan seni dan budaya. Di dalam kedua novel ini terdapat latar
yang mencerminkan kebudayaan Jepang seperti kehidupan wanita penghibur.
Menyoroti ‘wanita penghibur’, terdapat perbedaan dalam novel karya Nh. Dini dan
Arthur Golden. Dalam ‘Namaku Hiroko’, Hiroko bekerja menjadi seorang wanita
penghibur dengan latar penari telanjang yang tidak melakukan pendidikan formal
sebagaimana Geisha. Berbeda dengan ‘Memoirs of A Geisha’, Sayuri (Chiyo) adalah seorang Geisha yang telah melewati
pendidikan formal untuk menjadi seorang Geisha yang sesungguhnya. Selain itu,
banyak istilah Jepang dapat dijumpai dalam kedua novel ini yang menjadi
kekhasan budaya di Jepang, seperti kutipan berikut.
Di kampungku
yang baru, dengan membayar tiga puluh lima yen, aku dapat membersihkan
badan, merendam diri di dalam air panas. (NH-halaman 35)
Jika belum
pernah melihat samisen, kau akan menganggapnya instrumen yang aneh. Ada
yang menyebutnya gitar Jepang, tetapi sebetulnya samisen jauh lebih kecil
daripada gitar, dengan tiga tuas penyetel besar pada ujungnya. (MoG-halaman 62)
Terdapat kesamaan pandangan terhadap kimono, yakni kedua tokoh begitu
mengagumi kimono :
Lalu kami berhenti terpaku di depan deretan kimono,
bermacam corak ragamnya. Aku gemetar. Aku selalu gemetar berhadapan dengan
barang-barang yang demikian bagus. (NH – hal. 40)
”....Bagus sekali obi itu. Pasti amat mahal” Aku
tak dapat menahan kekagumanku. (NH – hal. 58)
....Aku datang memakai semacam kimono katun biru
putih yang paginya kupakai ke sekolah, tetapi Tatsumi memakaikan kimono
sutra biru tua dengan motif roda-roda... Aku merasa agak bangga ketika keluar
dari kamar itu...
3.
Latar
belakang kehidupan dan ekonomi di desa
Latar
belakang pada kehidupan tokoh utamanya memiliki keserupaan, yakni nuansa desa.
Begitu juga dengan latar keluarga kedua tokoh yang sama-sama berasal dari
keluarga miskin yang penuh kesulitan dan sedang sangat membutuhkan uang untuk
bertahan pada kehidupan.
Pada
novel Hiroko, digambarkan bahwa Hiroko berasal dari pulau besar yang terletak
paling selatan Negara Jepang yaitu Okinawa, seperti kutipan berikut.
Aku
anak sulung Yamasaki Ueno, seorang petani biasa yang di daerah kami, pulau
besar yang terletak paling selatan negeri kami. Desa kami tidak jauh dari kota,
tertembus jalan raya yang menghubungkan Nobeoka dengan Miyasaki. (halaman
12)
Mulai
kecil, aku menolong ibuku dengan mengawasi kedua adikku, atau menyuapi bubur
selagi orangtuaku berada di ladang. Sepulang dari sekolah, aku memisahkan
daun-daun kubis yang kuning busuk dari gumpalan yang segar. Pada waktu itulah
rumah kami yang beratap rendah dan sempit menjadi pengap oleh bau sayur layu
dan bawang yang sengak. (halaman
13)
Pada novel
Memoirs of A Geisha, Chiyo berasal dari desa nelayan Yoroido,seperti kutipan
kalimat berikut.
Aku
memang dibesarkan di Yoroido, dan tak seorangpun akan menyebutnya tempat
gemerlap. Nyaris tak ada yang mengunjunginya. Di desa nelayan Yoroido, aku tinggal
di rumah yang kusebut “rumah mabuk” .(halaman 12)
Mungkin rumah kami itu
sudah roboh jika ayahku tidak memotong kayu dari perahu nelayan yang kandas dan
menyangga atapnya. Kalau tidak sedang menangkap ikan, dia duduk di
lantai di ruang depan kami yang gelap, memperbaiki jalanya. (halaman 13)
4. Pengeksploitasian
Anak
Dalam kedua novel ini, terdapat
kesamaan konflik awal seperti terjadinya pengeksploitasian anak, dalam hal ini
Hiroko dan Chiyo. Dalam usia yang begitu belia, mereka harus dapat menghidupi
diri mereka sendiri untuk memperbaiki nasib mereka kedepannya. Kedua tokoh
tersebut dieksploitasi oleh ayahnya kepada orang-orang yang dianggap mampu
memperbaiki nasib anak-anaknya. Hiroko diserahkan kepada tengkulak untuk
dijadikan pembantu, sedangkan Chiyo diserahkan kepada tuan Tanaka untuk
dijadikan pelayan di rumah Geisha. Hiroko dan Chiyo harus berpindah dari tempat
tinggal mereka yang sebelumnya di desa ke kota.
“Tamura-San
mempunyai saudara yang tinggal di kota.
Saudaranya itu mencari seorang gadis untuk membantu pekerjaan rumah tangga.
Hiro-cang akan berangkat ke sana
beberapa hari lagi. Ayah dan ibu sudah membicarakannya,” demikian ayahku
menjelaskan arti kunjungan tamu itu, sambil memandang kepadaku…
Pandangku
tertanam pada semut-semut yang merambati tatami di depan lututku. Aku merasa
tamu itu tak sekejap pun mengalihkan pandangan dariku, seperti seorang pembeli
yang mengamati sapi yang akan dibayarnya pada suatu lelang ternak..
(NH- halaman 14 – 15)
________
…kulihat
tuan Tanaka sedang duduk berhadapan dengan ayahku di meja kecil di rumah kami…”Nah,
Sakamoto-san, bagaimana usul saya tadi?”. “Saya tidak tahu, Tuan, “kata ayahku.
“Tak bisa saya bayangkan anak-anak itu tinggal di tempat lain.” ”Saya mengerti, tetapi keadaan mereka akan
lebih baik, dan Anda juga. Suruhlah mereka ke desa besok sore.”….
…Tetapi di dalam kepalaku seakan baru terjadi
ledakan. Pikiranku pecah berkeping-keping, tak dapat kusatukan kembali..
(MoG – halaman 26)
Meskipun
terdapat perbedaan pada kisah selanjutnya, yaitu Hiroko tidak mampu bertahan
dengan segala perlakuan majikannya sedangkan Chiyo tetap berusaha bertahan
hingga akhirnya keberuntungan menjumpainya sehingga ia dapat menjadi seorang
Geisha. Dalam proses kehidupan kedua tokoh tersebut, terdapat berbagai
perjuangan yang harus dihadapi oleh kedua remaja tersebut untuk bisa bertahan
dan memperbaiki nasib mereka.
5. Perubahan
Pola Pikir
Pada novel The Memoirs of a Geisha
titik tolok perubahan cara pandang Chiyo terjadi pada saat ia bertemu Ken
Iwamura di jembatan, dimana Ken Iwamura memberikan saputangan kepada Chiyo, dan
ketika ia menatap mata Ken Iwamura, segala kesedihan dan kepedihan hidupnya
berubah menjadi tekad yang sangat besar untuk menjadi geisha yang handal dan
terkenal agar dapat bertemu dengan Ken Iwamura kelak setelah dewasa.
Pada novel Namaku Hiroko, titik
tolok perubahan pola pikir Hiroko terjadi sejak ia bertemu dengan Tomiko,
kawannya. Dan proses itu berlanjut terus
seiring dengan pergaulan yang didapat selama bekerja.
6. Perjuangan
Kehidupan dan Mencari Cinta
Dalam
kedua novel ini, tampak adanya hubungan intertekstual terutama mengenai
struktur cerita, yaitu alur maju dan sudut pandang orang pertama, yaitu tokoh
utama itu sendiri –Chiyo dan Hiroko-. Kedua tokoh, meskipun dengan latar
keluarga yang serupa, namun tetap memiliki perjuangan hidup dan pencarian cinta
yang hampir serupa namun berbeda. Chiyo dengan latar seorang Geisha dan Hiroko
dengan latar wanita yang cinta kebebasan. Keduanya menjalani proses kehidupan
yang begitu kompleks dan menjumpai hal-hal yang sebelumnya tabu sehingga
menjadi suatu hal yang biasa.
Pada
tokoh Chiyo, perjuangan mencari cinta yang sesungguhnya tersirat dari penantian
panjangnya untuk bertemu Ken Iwamura. Dan di akhir cerita digambarkan bahwa
perjuangannya membuahkan hasil,mimpinya terjawab. Berikut ini adalah kisah
hidupnya sejak awal hingga Chiyo menemukan kekasih sejatinya.
Tokoh
Chiyo digambarkan sebagai seorang anak berusia sembilan tahun yang karena
kondisi kemiskinan harus rela dijual oleh ayahnya melalui Tuan Tanaka, seperti
kutipan berikut,
Suatu sore ketika aku
pulang, kulihat Tuan Tanaka sedang duduk berhadapan dengan ayahku di meja kecil
di rumah kami. Aku tahu mereka sedang membicarakan sesuatu
yang serius, karena mereka bahkan tidak menyadari aku masuk. Aku berdiri
diam-diam mendengarkan mereka. (halaman 26)
Di rumah geisa, Okiya, ia dididik untuk menjadi geisha. Tapi pekerjaan
yang dilakukannya adalah layaknya seorang pembantu, seperti kutipan berikut.
Aku
membereskan dan menyimpan futon di pagi hari, membersihkan ruangan-ruangan,
menyapu lorong berlantai tanah, dan semacamnya. (halaman 51)
Ketika Chiyo sedang menangisi nasibnya
di sebuah jembatan, seorang pria, Ken Iwamura, menghampirinya, membelikannya
kembang gula, lalu memberinya uang yang dibungkus dalam sebuah saputangan.
Chiyo sangat bahagia, dan seketika muncul keinginannya yang kuat untuk menjadi
seorang geisha agar dapat berjumpa lagi dengan pria tersebut, seperti kutipan
berikut.
Dengan
mata terpejam rapat dan tangan terkatup, aku berdoa agar para dewa
mengizinkanku menjadi geisha. Aku bersedia menahan penderitaan selama
pelatihan, menjalani semua beban berat, demi kesempatan menarik perhatian orang
seperti Ketua lagi (halaman 124).
Seiring berjalannya waktu, Chiyo menjadi
seorang geisha yang cantik, berkepribadian, pandai menyanyi, menari dan bermain
musik. Dan ia mendapat nama baru, Sayuri. Puncak popularitasnya, Sayuri menjadi
geisha yang mendapat penawaran tertinggi untuk melepas keperawanannya kepada
seorang dokter bernama Dr. Crab, seperti kutipan berikut.
Dimulai pada suatu sore
ketika Dr. Kepiting dan aku minum sake dalam upacara yang akan mengikat kami
selamanya. Alasan untuk upacara ini adalah meskipun mizuage itu sendiri akan
usai hanya dalam waktu singkat, Dr. Kepiting tetap akan menjadi pelanggan
mizuage-ku sampai akhir hayatnya. (halaman 306)
Dengan berbagai pergolakan serta intrik
yang terjadi di antara para geisha, hasrat Sayuri kembali bergelora untuk
mendekati sang ketua yaitu Ken Iwamura. Bahkan kemudian dia baru mengetahui
bahwa sang Ketua telah menawarkan diri untuk menjadi penyokong dana untuk
Sayuri agar dapat membebaskan Sayuri dan menjadi miliknya dan tidak menjadi
seorang geisha lagi, seperti kutipan berikut.
Namun
kehidupanku melunak menjadi sesuatu yang jauh lebih menyenangkan setelah Ketua
menjadi danna-ku. (halaman 463)
Pada
tokoh Hiroko, perjuangan mencari cinta tergambar pada pertemuannya pertama kali
dengan Sanao. Walaupun ia tidak dapat
sepenuhnya memiliki Sanao, tetapi pada saat ia bertemu dengan Yoshida,
Hiroko seperti menemukan kembali sosok laki-laki idamannya. Ia berhasil
memiliki Yoshida dan hidup bersama.
Hiroko
digambarkan sebagai seorang gadis desa yang hidup dalam lingkungan adat dimana
seorang anak harus menurut perintah orangtua, seperti kutipan berikut.
Ayahku
orang yang menentukan dalam kehidupan kami. Dan aku yang dibesarkan dengan
lingkungan adapt kepala tunduk untuk mengiyakan semua perintah orangtua, tidak
melihat alasan apapun buat membantahnya. (halaman 15)
Kemudian ia merantau ke kota untuk bekerja sebagai pembantu, seperti
kutipan berikut.
Aku bekerja sebagai pembantu di rumah
suami-istri yang lanjut umurnya.Rumah itu cukup besar. Setiap hari ada tujuh
kamar yang harus kubersihkan. Aku membantu sedikit-sedikit di dapur seperti
yang kukerjakan di desa.Seminggu dua kali ada cucian pakaian, tergantung kepada
musim. (halaman 16)
Dalam perjalanannya, kehidupan kota mulai membuat Hiroko menjadi dewasa
terutama dalam memandang lawan jenisnya, seperti kutipan berikut.
Dengan
hanya berlapiskan kaus dalam, tampak jelas olehku kekokohan bahu serta
kelapangan dadanya. Tanpa kusadari terasa di dalam diriku suatu kenikmatan
tersendiri yang tidak kumengerti. Aku belum pernah hidup demikian berdekatan
dengan seorang pemuda. Dan segala yang dikerjakannya menarik hatiku. (halaman 17)
Proses
perubahan tersebut dimulai dengan pertemuan Hiroko dengan Sanao, adik
majikannya. Hiroko tertarik pada Sanao, demikian juga Sanao tertarik pada
bentuk fisik Hiroko, sehingga terjadilah hubungan seks di antara mereka. Dalam
benaknya ia berpikir bahwa jika seorang laki-laki tidur dengan seorang
perempuan tentulah disebabkan oleh perasaan cinta.
Kemudian
ia berkenalan juga dengan seorang pelanggan bernama Yukio Kishihara di toko
tempat ia bekerja kemudian. Orientasi seks Hiroko sudah berubah. Seks yang dulu
hanya pantas dilakukan karena cinta, kenyataannya tidaklah demikian, seperti
kutipan berikut.
Aku
tidak memerlukan nasehat tentang
laki-laki yang menjadi teman untuk bepergian keluar bersama. Tetapi kenyataan
bahwa aku menemukan laki-laki beruang memberiku perasaan tenang. Ini bukan
berarti pula bahwa aku akan terus menghubunginya. Dia kuanggap hanya sebagai
cadangan. (halaman 120)
Bahkan
ia mulai memandang materi sebagai sesuatu yang utama dalam hidupnya, seperti
kutipan berikut.
Dalam
seharian itu aku menghitung-hitung betapa banyak barang mewah yang akan terbeli
dengan gajiku nanti. Belum sampai berlayar, aku telah mabuk oleh kilauan dan
kilatan berbagai barang kekenesan wanita yang kuingini. (halaman
27)
Dari perkenalannya dengan Yukio, Hiroko mengenal bar, menjadi penari
telanjang dan hidup serumah layaknya suami-istri dengan Suprapto, mahasiswa
Indonesia di Jepang, seperti kutipan berikut.
Sebelum
mengenalnya, aku lebih suka akan keeratan antara diriku dengan seorang
laki-laki, yang memikatku secara jasmaniah. Kalau aku bertemu dengan seorang
laki-laki, tubuh dan wajahnyalah yang paling kuutamakan. Watak budi bahasanya
terletak di belakangnya.
Suprapto
memiliki daya tarik tersendiri. Tubuhnya sedang, melebihiku hanya beberapa
sentimeter. Kalau tersenyum, seluruh
pengucapannya berseri dan menarik. Aku sampai-sampai berpikir, barangkalai
dapat hidup terus bersamanya. (halaman 164)
Namun akhirnya ia jatuh di pelukan Yoshida, suami Natsuko teman
dekatnya, seperti kutipan berikut.
Kudapatkan
penemuan baru malam itu, bahwa aku tidak dapat melepaskan Yoshida lagi.
Kemiripan dengan Sanao yang kuperkirakan semula, hanya berupa jasmaniah, hanya
lahiriah. Semua yang menyentuh keakraban, hanya Yoshidalah yang sanggup
menciptakan sebagai seorang laki-laki yang kukehendaki. (halaman 239)
E.
Kesimpulan
Dari paparan
di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat intertekstual dalam kedua novel Namaku Hiroko dan Memoirs of a Geisha. Oleh karena keterbatasan waktu dan kemampuan
penulis, maka dalam pengkajian ini hanya dibandingkan beberapa unsur struktur
saja, yaitu hal kultur budaya, alur cerita, pengeksploitasian anak, perubahan
pola pikir tokoh utama, penokohan, dan perjuangan hidup dan mencari cinta. Persamaan-persamaan
yang ditemukan dalam kedua novel itu menunjukkan adanya hubungan
intertekstual.. Sedangkan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalamnya juga
menunjukkan bahwa pada karya sesudahnya terdapat pengembangan yang sifatnya
berupa kreativitas pengarang mengenai fenomena-fenomena yang timbul dari karya
sebelumnya. Sehingga terjadi apa yang dinamakan karya sastra yang serupa tapi
tak nampak sama. Sebabnya adalah karena ada sesuatu yang lain diantara
keduanya.
Adapun teks
hipogram yang ditemui penulis dapat mencakup :1) dilihat dari segi tahun
penulisan, novel Namaku Hiroko
merupakan hipogram dari novel Memoirs of
a Geisha. Hal ini mengacu kepada novel Namaku
Hiroko telah ditulis jauh sebelum Memoirs of a Geisha. 2) dilihat dari
pengisahan cerita, novel Memoirs of a
Geisha merupakan hipogram dari novel Namaku
Hiroko. Hal ini karena pengkisahan peristiwa pada novel Memoirs of a Geisha jauh lebih kompleks
dibanding Namaku Hiroko. Dalam Memoirs of a Geisha, penjabaran peristiwa meliputi kejadian yang
terjadi sebelum, pada masa, dan setelah perang Dunia 2 berakhir. Sedangkan Namaku Hiroko hanya sebuah pengkisahan di tahun setelah Perang
Dunia 2 berakhir.
Demikianlah
kajian intertekstual yang penulis lakukan. Dengan segala kekurangan, penulis
mencoba membahas secara sedehana. Masukan dan kritikan akan sangat bermanfaat
untuk penulis dalam perbaikan makalah ini.
HASIL
TANYA JAWAB MATERI PRESENTASI
1.
Apakah
sebuah karya sastra yang dibandingkan dengan karya sastra lain bisa hasil
tulisan seorang pengarang saja?
Tidak bisa karena salah satu tujuan kajian
sastra bandingan adalah untuk menentukan mana karya sastra yang benar-benar
orisinil dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra, jadi tidak satu orang pengarang saja.
2.
Mengapa
kelompok Saudara memilih novel Memoar of A Geisha sebagai karya yang
dibandingkan?
Karena kelas kita sudah mendapat tugas
membaca dan mengkaji novel ini sebelumnya, juga karena kami menemukan beberapa
hal yang cukup dominan sehingga kami dapat melakukan kajian intertekstual.
3.
Apakah
kajian intertekstual hanya melihat persamaan ketika membandingkan dua buah
karya sastra ?
Tidak. Kegiatan interteks atau sastra
bandingan sebenarnya ingin mendeteksi orisinalitas sebuh teks sastra. Di dalam
buku Metode Penelitian Sastra, Suwardi Endraswara menyatakan bahwa jika karya
sastra semakin tidak memuat teks lain, berarti fungsi kreativitas sangat
tinggi.
4.
Ketika
membandingkan novel Namaku Hiroko dan Memoar of A Geisha, sejauh mana kelompok
Saudara melihat persamaan yang paling banyak?
Sebenarnya yang paling menarik adalah
mengenai simbol-simbol budaya Jepang. Kedua penulis memang pernah tinggal di
Jepang sehingga kehidupan sehari-hari yang dilukiskan sarat dengan kekhasan
kultur masyarakat Jepang, dengan istilah-istilah yang menggunakan bahasa
aslinya. Hal ini menunjukkan kelekatan kedua penulis dengan cara hidup manusia
Jepang, dan juga menunjukkan betapa masyarakat Jepang sangat memelihara budaya
tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Yang kedua adalah alur cerita mengenai
perjalanan dua orang anak perempuan dalam proses panjang yang di dalamnya
mengalami banyak kisah hingga mereka dewasa.
5.
Apakah
kita dapat membandingkan karya-karya sastra tradisional ?
Ya, tentu saja bisa, namanya sastra
nasional. Misalnya membandingkan karya sastra bahasa Jawa dengan karya sastra
bahasa Batak.
Keterangan :
Jawaban dari setiap pertanyaan sudah
tercantum di dalam makalah. Pembahasan yang belum pembaca ketahui pada makalah
sebelumnya juga telah penulis lengkapi dengan teori dan penjelasan yang lebih
detail di makalah ini. Semoga bermanfaat!
DAFTAR
PUSTAKA
Dini, NH. 1992. Namaku Hiroko. Jakarta : PT Gramedia.
Golden,
Arthur. 2005. Memoirs of Geisha. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. Penyusun : Jabrohim.
2001. Suatu kumpulan Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta : PT Hanindita Graha Widia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sangidu. 2007. Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat.