Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara saru
daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang
dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang
diperlukan. Karenanya banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara
pada munculnya berbagai aliran pendidikan.
a. Aliran
Empiris
Tokoh aliran
Empirisme adalah John Lock, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704.
Teorinya dikenal dengan Tabulae rasae (meja lilin), yang menyebutkan bahwa anak
yang lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan
mempunyai corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua
(faktor keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui
hubungan dengan lingkungan (sosial, alam, dan budaya). Pengaruh empiris yang
diperoleh dari lingkungan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut
aliran ini, pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat penting, sebab
pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima
pendidikan se¬bagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah
laku, sikap, serta watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Misalnya: Suatu
keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat
diberikan dan pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat
melukis pada anak itu tidak ada. Akibatnya dalam diri anak terjadi konflik,
pendidikan mengalami kesukaran dan hasilnya tidak optimal.
Contoh lain,
ketika dua anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang
berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin,
yang satu dididik di lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan
disekolahkan di sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
b. Aliran
Nativisme
Tokoh aliran
Nativisme adalah Schopenhauer. la adalah filosof Jerman yang hidup pada tahun
1788-1880. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh
faktor bawaan sejak la¬hir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap
pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan
oleh bakat yang di¬bawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan
belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak
memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika
anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak
sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu
sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Coba simak
cerita tentang anak manusia yang hidup di bawah asuhan serigala. la bernama
Robinson Crussoe. Crussoe sejak bayi hidup di tengah hutan rimba belantara yang
ganas. la tetap hidup dan ber¬kembang atas bantuan air susu serigala sebagai
induknya. Serigala itu memberi Crussoe makanan se-suai selera serigala sampai
dewasa. Akhirnya, Crussoe mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan bahasa, dan
watak seperti serigala, padahal dia adalah anak manusia. Kenyataan ini pun
membantah teori Nativisme, sebab gambaran dalam cerita Robinson Crussoe itu
telah membuktikan bahwa lingkungan dan didikan membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan anak.
c. Aliran
Natularisme
Tokoh aliran
ini adalah J.J. Rousseau. la adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778.
Natu¬ralisme mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia
mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena
pengaruh lingkungan, sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme.
Naturalisme memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Aminuddin R., 1992: 9), yaitu:
Naturalisme memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Aminuddin R., 1992: 9), yaitu:
1) Anak didik
belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara
pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya
secara alami.
2) Pendidik
hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan
se¬bagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu
mendorong keberanian anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap
terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik.
Tanggung jawab belajar terletak pada diri anak didik sendiri.
3) Program
pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan
menyedia¬kan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak
didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan
belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya.
Dengan
demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang
bersifat paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi
pusat kegiatan proses belajar-mengajar.
d. Aliran
Konvergensi
Tokoh aliran
Konvergensi adalah William Stem. la seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup
tahun 1871-1939. Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari
aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di
dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak
selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan
lingkungan sama-sama berperan penting.
Anak yang
mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang baik akan
menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan
bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan
perkembangan anak secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang
dibawa anak.
Dengan
demikian, aliran Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada
faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan. Hanya saja, William Stem tidak
menerangkan seberapa besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut. Sampai
sekarang pengaruh dari kedua faktor tersebut belum bisa ditetapkan.
e. Aliran
Progresivisme
Tokoh aliran
Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah
yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya.
Aliran ini
memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu
ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding
makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif yang didukung oleh
ke-cerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan
kecerdasan menjadi tugas utama pendidik, yang secara teori mengerti karakter
peserta didiknya.
Peserta didik
tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga
termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam
pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan.
Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin
mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya,
sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.
f. Aliran
Esensialisme
Aliran
Esensialisme bersumber dari filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan yang
diberikan keduanya bersifat eklektik. Artinya, dua aliran tersebut bertemu
sebagai pendukung Esensialisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus
bersendikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Artinya,
nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang menjadi pedoman hidup, sehingga
dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal
dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad yang lalu, yaitu
zaman Renaisans.
Adapun
pandangan tentang pendidikan dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama
adalah Johan Amos Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan
melalui indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan
Frieddrich Herbart (1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada
penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan
itu oleh Herbart disebut sebagai pengajaran.
Tokoh ketiga
adalah William T. Harris (1835-1909) yang berpendapat bahwa tugas pendidikan
adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan
dan bersendikan ke-satuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara
nilai-nilai yang telah turun-temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang
pada masyarakat.
Dari pendapat
di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran Esensialisme menghendaki agar landasan
pendidikan adalah nilai-nilai esensial, yaitu yang telah teruji oleh waktu,
bersifat menuntun, dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman
Re¬naisans.
g. Aliran
Perenialisme
Tokoh aliran
Perenialisme adalah Plato, Aris-toteles, dan Thomas Aquino. Perenialisme
memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu
dijadikan dasar pendidikan sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan
adalah belajar untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan
untuk berlatih berpikir sejak dini.
Pada awalnya,
peserta didik diberi kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis, dan
berhitung. Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih tinggi seperti
berlogika, retorika, dan bahasa.
h. Aliran
Konstruktivisme
Gagasan pokok
aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. la
dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya Konstruksionisme. la mengatakan bahwa
Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan (Paul
Suparno, 1997: 24). Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui.
Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala
sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan.
Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk.
Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini
dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget
mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu
dengan lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu
barang. Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara
pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga
dapat terbentuk pengertian baru (Paul Supamo, 1997: 33).
Piaget juga
berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar,
yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data
baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian
struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian
kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi
(Suwardi, 2004: 24).
Kesimpulannya, aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang ke-pada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.
Kesimpulannya, aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang ke-pada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.
TEORI-TEORI PENDIDIKAN
1. Teori
Koneksionisme
Edward Lee
Thorndike adalah tokoh psikologi yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap
berlangsungnya proses pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori
Stimulus-Respons. Menurutnya, dasar belajar adalah asosiasi antara stimulus (S)
de¬ngan respons (R). Stimulus akan memberi kesan ke-pada pancaindra, sedangkan
respons akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Asosiasi seperti itu
disebut Connection. Prinsip itulah yang kemudian disebut sebagai teori
Connectionism.
Pendidikan yang
dilakukan Thorndike adalah menghadapkan subjek pada situasi yang mengandung
problem. Model eksperimen yang ditempuhnya sangat sederhana, yaitu dengan
menggunakan kucing sebagai objek penelitiannya. Kucing dalam keadaan lapar
dimasukkan ke dalam kandang yang dibuat sedemikian rupa, dengan model pintu
yang dihubungkan dengan tali. Pintu tersebut akan terbuka jika tali
tersentuh/tertarik. Di luar kandang diletakkan makanan untuk merangsang kucing
agar bergerak ke-luar. Pada awalnya, reaksi kucing menunjukkan sikap yang tidak
terarah, seperti meloncat yang tidak menentu, hingga akhirnya suatu saat
gerakan kucing menyentuh tali yang menyebabkan pintu terbuka.
Setelah
percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah laku kucing untuk keluar dari
kandang menjadi semakin efisien. Itu berarti, kucing dapat memilih atau
menyeleksi antara respons yang berguna dan yang tidak. Respons yang berhasil
untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali akan dibuat pembiasaan, sedangkan
respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu menunjukkan adanya hubungan kuat
antara stimulus dan respons.
Thorndike
merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (Suwardi, 2005:
34-36), sebagai berikut:
- Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini
memberikan keterangan mengenai kesiapan seseorang merespons (menerima atau
menolak) terhadap suatu stimulan. Pertama, bila sese¬orang sudah siap melakukan
suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya sehingga tidak
akan melakukan tingkah laku lain. Contoh, peserta didik yang sudah benar-benar
siap menempuh ujian, dia akan puas bila ujian itu benar-benar dilaksanakan.
Kedua, bila
seseorang siap melakukan suatu tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka
akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan melakukan ting¬kah laku lain untuk
mengurangi kekecewaan. Contoh peserta didik yang sudah belajar tekun untuk
ujian, tetapi ujian dibatalkan, ia cenderung melakukan hal lain (misalnya:
berbuat gaduh, protes) untuk melampiaskan kekecewaannya.
Ketiga, bila
seseorang belum siap melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus melakukannya,
maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan melakukan
tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut.
Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes tanpa diberi tahu lebih dahulu,
mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan tes.
Keempat, bila
seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan tetap tidak melakukannya,
maka ia akan puas. Contoh, peserta didik akan merasa lega bila ulangan ditunda,
karena dia belum belajar.
- Hukum Latihan (The Law of Exercise)
Hukum ini
dibagi menjadi dua, yaitu hukum penggunaan (the law of use), dan hukum bukan
penggunaan (the law of disuse). Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan
latihan berulang-ulang, hubungan stimulus dan respons akan makin kuat.
Sedangkan hukum bukan penggunaan menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan
respons akan semakin melemah jika latihan dihentikan.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan “apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia….” maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan “apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia….” maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Makin
sering suatu pelajaran diulang, akan semakin banyak yang dikuasainya.
Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang, pelajaran semakin sulit untuk
dikuasai.
- Hukum Akibat (The Law of Effect)
Hubungan
stimulus-respons akan semakin kuat, jika akibat yang ditimbulkan memuaskan.
Sebaliknya, hubungan itu akan semakin lemah, jika yang dihasilkan tidak
memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan akibat yang
menyenangkan akan cenderung untuk diulang. Tetapi jika akibatnya tidak
menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini erat
kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (pun¬ishment).
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
2. Teori
Classical Conditionins
Tokoh yang mengemukakan
teori ini adalah Ivan Petrovich Pavlov, warga Rusia yang hidup pada tahun
1849-1936. Teorinya adalah tentang condi¬tioned reflects. Pavlov mengadakan
penelitian secara intensif mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan
Pavlov menggunakan anjing sebagai objeknya. Anjing diberi stimulus dengan
makanan dan isyarat bunyi, dengan asumsi bahwa suatu ketika anjing akan
merespons stimulan berdasarkan kebiasaan.
Ketika akan
makan, anjing mengeluarkan liur sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan itu
diulang berkali-kali, dan pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi
bunyi saja tanpa diberi makanan. Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan liur
dengan anggapan bahwa di balik bunyi itu ada makanan. Lewat penemuannya, Pavlov
meletakkan dasar behaviorisme sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi berbagai
penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori belajar.
Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut:
Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut:
a. Belajar
adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/ mempertautkan antara
perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b. Proses
belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c. Belajar
adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme/individu.
d. Setiap
perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e. Semua
aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.
3. Teori
Operant Conditionins
Teori ini
dikemukakan oleh Burhus Frederic Skinner. la membedakan tingkah laku responden,
yaitu tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas. Misalnya, kucing
lari ke sana kemari karena melihat daging. Operant Behavior adalah tingkah laku
yang ditimbulkan oleh stimulus yang belum diketahui, namun semata-mata
ditimbulkan oleh organisme itu sendiri, dan belum tentu dikehendaki oleh
stimulus dari luar. Misalnya, kucing lari ke sana kemari karena kucing itu
lapar, bukan karena melihat daging (Sri Rumini, 1993: 75-76). Sesuai dengan dua
tingkah laku tersebut, ada dua macam kondisi, yaitu: Pertama, Respont
Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe S, karena menitikberatkan pada
sti¬mulus. Hal ini sama dengan kondisi yang dikemuka¬kan oleh Pavlov.
Kedua, Operant
Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe R, karena menitikberatkan pada
pentingnya respons. Menurut Skinner, ada dua prinsip umum dalam kondisi ini,
yaitu:
· Setiap respons yang diikuti stimulus yang memperkuat reward (ganjaran),
akan cenderung diulangi.
· Stimulus yang memperkuat reward akan meningkatkan kecepatan terjadinya
respons operant. Dengan kata lain, reward akan mengakibatkan diulanginya suatu
respons.
Setelah
melakukan eksperimen berulang-ulang, Skinner berkesimpulan bahwa mula-mula
dalam jangka pendek, baik hukuman maupun hadiah, mempunyai efek mengubah dan
menaikkan tingkah laku yang dikehendaki. Namun dalam jangka panjang, hadiah
tetap berefek menaikkan, sedangkan hukuman justru tidak berfungsi. Artinya,
antara hadiah dan hukuman tidak simetris.
4. Teori
Gestalt
Max Wertheimer
adalah psikolog Jerman yang menjadi tokoh teori ini. Penemuan teori gestalt
bermula ketika Wertheimer melihat cahaya lampu yang berkedap-kedip saat naik
kereta api pada jarak tertentu. Sinar itu memberinya kesan sebagai sinar yang
bergerak datang-pergi dan tidak terputus.
Gestalt
berasumsi, bila suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem, kedudukan
kognisi tidak seimbang sampai problem itu terpecahkan. Kognisi yang tidak
seimbang mendorong organisme untuk mencari keseimbangan sistem mental. Menurut
gestalt, problem merupakan stimulus sampai didapat suatu pemecahannya.
Organisme atau individu akan selalu berpikir tentang suatu bahan agar dapat
memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai bentuk respons dari stimulus yang
berupa masalah tadi.
Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum yang sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap jenjangnya.
Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum yang sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap jenjangnya.
Teori Gestalt
dengan metode globalnya juga sangat berpengaruh dalam metode membaca dan
menulis. Metode yang resmi digunakan dengan mengacu teori ini dikenal dengan
istilah S.A.S (Struktural, Analitis, dan Sintesis). Metode ini dirintis oleh
Dr. Ovide De Croly. Proses mengajarnya adalah sebagai berikut:
a. Pada
permulaan sekali, anak dihadapkan pada cerita pendek yang telah dikenal anak
dalam kehidupan keluarga. Cerita ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah
dikenal anak. Karena itu, dengan mudah anak akan segera dapat membaca
seluruhnya dengan menghafal. Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang
tidak cocok dengan yang diucapkan.
b. Menguraikan
cerita pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Pendidik secara alamiah
menunjukkan bahwa cerita pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat. Antarkalimat
diberi warna yang berbeda, dan antarkalimat diberi jarak yang cukup renggang.
c. Memisahkan
kalimat-kalimat menjadi kata-kata. Tiap kata ditulis dengan warna yang berbeda,
terpisah, dan ditulis agak berjauhan. Susunan tiap kata ditulis semakin menurun
dan dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata.
d. Memisahkan
kata menjadi suku kata.
e. Memisahkan
suku kata menjadi huruf, dan tiap hurufnya ditulis dengan warna yang berbeda.
f. Setelah
mengenal huruf, peserta didik diajarkan menyusun suku kata; suku kata menjadi;
dan kata menjadi kalimat.
Kebaikan metode
ini adalah peserta didik bisa belajar secara alamiah, sesuai dengan prinsip
persepsi gestalt. Pelajaran itu menarik, tidak menjemukan, karena dimulai
dengan cerita dan kalimat-kalimat yang mengandung arti. Metode ini sesuai
dengan tingkat perkembangan anak, tidak mengganggu, serta tergantung pada
proses persepsinya masing-masing. Peserta didik membaca dengan memahami isinya
dan akhirnya murid lebih cepat menguasai pembacaan yang sebenarnya.
5. Teori Medan
(Field Theory)
Lingkungan
dipandang sebagai gejala yang saling memengaruhi. Teori medan memandang bahwa
tingkah laku dan atau proses kognitif adalah suatu fungsi dari banyak variabel
yang muncul secara simultan (serempak). Perubahan pada diri seseorang bisa
mengubah basil keseluruhan.
Kurt Lewin
(1890-1947) menjelaskan bahwa tingkah laku manusia dalam suatu waktu ditentukan
oleh keseluruhan jumlah fakta psikologis yang dialami dalam waktu tersebut.
Menurutnya, fakta psikologis itu merupakan sesuatu yang berpengaruh pada
tingkah laku, termasuk marah, ingatan kejadian masa lampau, dan lain-lain.
Semua fakta itu menjadi ruang lingkup kehidupan seseorang. Beberapa fakta
psikologis akan memberi pengaruh positif atau negatif pada tingkah laku
seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan menentukan tingkah laku
seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang disadarinya yang
akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan menyusun kembali
seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan perubahan-perubahan
kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam suatu pengaruh
perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud dengan teori medan
dalam psikologi (Sri Rumini, 1993: 100-101).
Teori medan
merupakan perkembangan dari teori gestalt. Berikut penerapan teori medan dalam
proses belajar-mengajar.
- Belajar
adalah perubahan struktur kognitif (pengetahuan)
Orang belajar akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak daripada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak memiliki fakta yang saling berhubungan. - Peranan hadiah dan hukuman. Hadiah dan hukuman merupakan sarana motivasi yang efektif. Tetapi dalam penggunaannya memerlukan pengawasan. Nilai yang baik bagi peserta didik pada umumnya merupakan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi, tugas-tugas dalam belajar untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya dianggap sebagai hukuman yang membebani dan kurang menarik.
- Masalah sukses dan gagal. Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dibanding hadiah dan hukuman. Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat intrinsik, kita akan lebih tepat mengatakan bahwa suatu tujuan berhasil atau gagal dicapai daripada mengatakan bahwa suatu tujuan mengandung hadiah dan hukuman. Pengalaman sukses dapat diperoleh melalui beberapa hal:
1) Pengalaman
sukses dialami bila seseorang benar-benar mendapatkan apa yang diinginkannya.
Misalnya, seseorang yang ingin lulus dalam suatu program tertentu, kemudian
ternyata memang lulus.
2) Pengalaman
sukses juga dialami bila sese¬orang sudah berada di dalam daerah tujuan yang
ingin dicapai. Misalnya, orang dikatakan lulus dalam suatu program bila tinggal
mengulang beberapa mata kuliah saja.
3) Pengalaman
sukses juga dialami kalau orang telah membuat suatu kemajuan ke arah tujuan
yang akan dicapai. Misalnya, orang merasa berhasil kalau telah mempersiapkan
diri dengan baik dalam menghadapi ujian.
4) Pengalaman
sukses juga dialami kalau orang telah berbuat dengan cara yang oleh masyarakat
dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan. Misalnya, seseorang merasa suk¬ses
bila pada waktu ujian keluar paling awal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
d. Taraf
Aspirasi. Pengalaman sukses dan gagal bersangkutan dengan taraf aspirasi seseorang.
Untuk itu, dalam mencapai sesuatu, setiap orang perlu merumuskan tujuan
meskipun masih bersifat sementara, sehingga ketika ia berada di daerah tujuan
sementara tersebut, ia akan merasa berhasil.
e. Pengulangan
dapat menimbulkan kejenuhan psikologis. Sebagai penerus dan penyempurna aliran
gestalt, Kurt Lewin berpendapat bahwa yang diperoleh pertama pada saat belajar
adalah pencerahan (insight), sedangkan pengulangan memiliki kedudukan sekunder.
Memang untuk mencapai pencerahan memerlukan pengulangan, tetapi kuantitas
pengulangan bukan yang menentukan insight. Justru ulangan yang terlalu banyak
akan menimbulkan kejenuhan psikologis, yang mengakibatkan terjadinya
diferensiasi (kekaburan). Itu berarti menambah jauhnya belajar dari pemecahan
masalah.
6. Teori
Humanistik
Arthur Combs,
Abraham H. Maslow, dan Carl R. Rogers adalah tiga tokoh utama dalam teori
bela¬jar humanistik. Berikut uraian pandangan mereka.
Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya.
Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya.
Pendidik dapat
memahami perilaku peserta didik jika ia mengetahui bagaimana peserta didik
memersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi
kita, mungkin saja ti¬dak aneh bagi orang lain.
Dalam proses
pembelajaran, menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik
memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya.
Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah
belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik, karena
peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi
masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi
bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di
dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya,
pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil.
Abraham H.
Maslow dikenal sebagai salah satu tokoh psikologi humanistik. Karyanya di
bidang ini berpengaruh dalam upaya memahami motivasi manusia. la menyatakan
bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh sekaligus
ke-kuatan yang menghambat.
Suwardi (2005:
54), mengutip pendapat Mas¬low, mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang
perlu dipenuhi oleh setiap manusia yang siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan
dimulai dari kebutuhan terendah, selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang
lebih tinggi. Kebutuhan tersebut adalah.
a. Kebutuhan
jasmaniah
b. Kebutuhan
keamanan
c. Kebutuhan
kasih sayang
d. Kebutuhan
harga diri
e. Kebutuhan
aktualisasi diri
Menurut ahli
teori ini, hierarki kebutuhan manusia tersebut mempunyai implikasi penting bagi
individu peserta didik. Oleh karenanya, pendidik harus memerhatikan kebutuhan
peserta didik sewaktu beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut
memahami kondisi tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering
tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada
yang tidak minat belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar
tidak dapat berkembang jika kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik
yang datang ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak dapat tidur nyenyak, atau
membawa persoalan pribadi, cemas atau takut, akan memiliki daya motivasi yang
tidak optimal, sebab persoalan-persoalan yang dibawanya akan mengganggu kon¬disi
ideal yang dia butuhkan.
Carl R. Rogers
adalah seorang ahli psikologi humanis yang gagasan-gagasannya berpengaruh
terhadap pikiran dan praktek pendidikan. la menyarankan adanya suatu pendekatan
yang berupaya menjadikan belajar dan mengajar lebih manusiawi. Menurut Sri
Rumini (1993: 110-112), gagasan itu adalah:
a. Hasrat untuk
belajar
Menurut Rogers,
manusia mempunyai hasrat untuk belajar. Hal itu mudah dibuktikan. Perhatikan
saja, betapa ingin tahunya anak kalau sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan
ingin tahu dan belajar merupakan asumsi dasar pendidikan humanistis. Di dalam
kelas yang humanistis, peserta didik diberi kebebasan dan kesempatan untuk
memuaskan dorongan ingin tahu dan minatnya terhadap sesuatu yang menurutnya
bisa memuaskan kebutuhannya. Orientasi ini bertentangan dengan gaya lama, di
mana seorang pendidik atau kurikulum mendominasi peta proses pembelajaran.
b. Belajar yang
berarti
Prinsip ini
menuntut adanya relevansi antara bahan ajar dengan kebutuhan yang diinginkan
peserta didik. Anak akan belajar jika ada hal yang berarti baginya. Misalnya,
anak cepat belajar menghitung uang receh karena uang tersebut dapat digunakan
untuk membeli barang kesukaannya.
c. Belajar
tanpa ancaman
Belajar mudah
dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam
lingkungan yang bebas ancaman. Proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar
ketika peserta didik dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba
pengalaman-pengalaman baru, atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman
yang menyinggung perasaannya. Jika kenyamanan sudah dia dapatkan, pembelajaran
pun akan menjadi kondusif. Anak tidak merasa tertekan dan pendidik dianggapnya
sebagai fasilitator yang menyenangkan.
d. Belajar atas
inisiatif sendiri
Bagi para
humanis, belajar akan sangat bermakna ketika dilakukan atas inisiatif sendiri.
Peserta didik akan mampu memilih arah belajarnya sendiri, sehingga memiliki
kesempatan untuk menimbang dan membuat keputusan serta menentukan pilihan dan
introspeksi diri. Dia akan bergantung pada dirinya sendiri, sehingga
kepercayaan dirinya menjadi lebih baik.
e. Belajar dan
perubahan
Prinsip
terakhir yang dikemukakan Rogers adalah bahwa belajar paling bermanfaat adalah
belajar tentang proses belajar. Menurutnya, di waktu lampau peserta didik
belajar mengenal fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang
didapat di sekolah dirasa sudah cukup untuk kebutuhan saat itu. Tetapi
sekarang, tuntutan mengubah pola pikir yang datang setiap waktu. Apa yang
dipelajari di masa lalu tidak dapat mudah dijadikan pegangan untuk mencapai
sukses di masa sekarang ini. Apa yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang
yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan terus akan berubah.
Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan.
Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan.
PILAR-PILAR PENDIDIKAN
Ada enam pilar
pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang dapat digunakan sebagai prinsip
pembelajaran yang bisa diterapkan di dunia pendidikan.
1. Learning to
Know
Learning to
know bukan sebatas mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya,
menyimpan dan mengingat selama-lamanya dengan setepat-tepatnya, sesuai dengan
petunjuk’petunjuk yang telah diberikan, namun juga kemampuan dalam memahami
makna di balik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan learning to know,
kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa
berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara
transendental, yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.
2. Learning to
Do
Learning to do
merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan model pendidikan dan
pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan “omong” (baca: teori),
dan kurang menuntun orang untuk “berbuat” (praktek). Semangat retorika lebih
besar dari action. Yang dimaksud learn¬ing to do bukanlah kemampuan berbuat
mekanis dan pertukangan tanpa pemikiran. Dengan demikian, peserta didik akan
terus belajar bagaimana memperbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga
bagai¬mana mengembangkan teori atau konsep intelektualitasnya.
3. Learning to
Be
Melengkapi
learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe berpendapat bahwa manusia
itu hidup sendiri tanpa kerja sama atau saling tergantung dengan manusia lain.
Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan masa jika tidak berpegang teguh
pada jati dirinya. Learning to be akan menuntun peserta didik menjadi ilmuwan
sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup
bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4. Learning to
Live Together
Learning to
live together ini merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan dari ketiga
poin di atas. Oleh karena itu, premis ini menuntut seseorang untuk hidup
bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan
masyarakatnya maupun bagi seluruh umat manusia.
5. Learning How
to Learn
Sekolah boleh
saja selesai, tetapi belajar tidak boleh berhenti. Pepatah, “Satu masalah
terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab”, seakan sudab menjadi hal yang
tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan yang serba modern ini. Oleh karena itu,
Learning How to Leam akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat
mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif,
inovatif, efektif, efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat baru
adalah learning society atau knowledge society. Orang-orang yang mampu
menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting ada¬lah mereka yang mampu
belajar lebih lanjut.
Learning How to
Learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu pergeseran dari model belajar
“memilih” (menghafal) menjadi model belajar “menjadi” (mencari/meneliti).
Asumsi yang digunakan dalam model belajar “memiliki” adalah “pendidik tahu”,
peserta didik tidak tahu. Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta
didik menerima. Yang dipentingkan dalam model belajar “memiliki” ini adalah
penerima pelajaran, yang akan menerima sebanyak-banyaknya, menyimpan
selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan aslinya serta menurut
instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar “menjadi”,
peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang dihadapinya, sedang pendidik dituntut membimbing, memotivasi,
memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi.
6. Learning
Throughout Learn
Perubahan dan
perkembangan kehidupan berjalan terus menerus yang semakin keras dan rumit.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali harus belajar terus menerus
sepanjang hayat. Learning Throughout Life ini menuntun dan memberi pencerahan
pada peserta didik bahwa ilmu bukanlah hasil buatan manusia, tetapi merupakan
hasil temuan atau hasil pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang
tidak terbatas dan harus dicari, maka upaya mencarinya juga tidak mengenal kata
berhenti.
Bertolak dari
butir-butir tersebut, gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam abad
mendatang adalah: pertama, mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi
paradigma baru. Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan kondisi
terkini. Kembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan,
dan ciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman.
Termasuk di sini adalah perubahan pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik
dan segregatif, serta mewujudkan pendidikan masa depan dan nasional menuju
terwujudnya suatu masyarakat dunia yang damai. Pendidikan untuk perdamaian
dunia hanya mungkin terwujud di dalam sua¬tu pendidikan yang dimulai di dalam
masyarakat lokal yang berbudaya.
Kedua, perlunya
perubahan metode penyampaian materi pendidikan. Metode yang kita gunakan selama
ini rasanya terlampau banyak menekankan penguasaan informasi untuk
menyelesaikan masalah. Akibatnya, kita hanya mengutamakan manusia yang patuh
dan kurang memikirkan terbinanya manusia kreatif. Ketiga, paradigma pendidikan
agama yang eksklusif, dikotomis, dan parsial harus diubah menjadi pendidikan
yang inklusif, integralistik, dan holistis.
Anda sedang membaca artikel tentang Aliran, Teori, dan Pilar-pilar dalam Pendidikan dan anda bisa menemukan artikel Aliran, Teori, dan Pilar-pilar dalam Pendidikan ini dengan url http://anekamakalahkita.blogspot.com/2013/01/aliran-teori-dan-pilar-pilar-dalam.html. Anda dapat Mengcopy Artikel Aliran, Teori, dan Pilar-pilar dalam Pendidikan ini untuk kepentingan pendidikan. Semoga artikel Aliran, Teori, dan Pilar-pilar dalam Pendidikan ini bermanfaat Bagi Anda. Mohon tinggalkan komentar setelah Anda membaca artikel Aliran, Teori, dan Pilar-pilar dalam Pendidikan ini. untuk dijadikan sebagai perbaikan dari artikel ini. bagi yang mau menyumbangkan makalah kirim melalui email sangmahasiswaabadi@gmail.com